Kamis, 31 Maret 2011

Kisah Yang Ariya Anuruddha ( unggul dalam mata dewa )

Sesaat sebelum mencapai Parinibbana, Sang Buddha menyampaikan kata-kata terakhir Beliau, "O Bhikkhu dengarkanlah baik-baik nasihatku: Segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh". Setelah itu Sang Buddha memasuki Jhana kesatu, lalu Jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian memasuki 'Kesadaran Terbatas', keadaan 'Kosong', keadaan 'Bukan Pencerapan pun Bukan Pencerapan' kemudian mencapai 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'.

Pada saat itulah YA Ananda berkata kepada Anruddha, "Bhante, Sang Bhagava telah Parinibbana!" Tetapi YA Anuruddha menjawab, "Belum Avuso Ananda. Sang Bhagava belum Parinibbana. Beliau sekarang berada dalam keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'".

Kemudian Sang Buddha bangun dari keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' lalu memasuki keadaan yang telah dijalaninya dengan urutan sebaliknya sampai kembali ke Jhana ke satu. Dari Jhana kesatu, Beliau kembali memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Keluar dari Jhana keempat Sang Buddha segera mengakhiri hidupnya dan mencapai Parinibbana.

Ketika Sang Buddha mencapai Parinibbana, YA Anuruddha mengucapkan syair berikut,

"Dengan tiada pergerakan napas,
tetapi dengan keteguhan hati,
Bebas dari keinginan dan tenang,
Demikianlah Sang Petapa mengakhiri hidupnya,
Tak gentar menghadapi saat mautnya,
Batinnya memperoleh kebebasan,
Bagaikan api lampu yang padam".

YA Anuruddha terlahir sebagai saudara sepupu Sang Buddha, putera dari Amitodana. Mempunyai saudara kandung bernama Mahanama dan merupakan saudara satu ayah lain ibu dari Ananda. Wajahnya tampan, alisnya lurus dan bentuk hidupnya bagus, ahli dalam seni bela diri dan olahraga. Orangtuanya amat menyayanginya dan memberinya rumah untuk tiap musim, satu untuk musim panas, satu untui musim dingin dan satu untuk musim hujan, sebagaimana yang diperoleh Pangeran Siddhattha dari orangtuanya. Di dalam tiap rumah yang dibangun untuk Anuruddha, terdapat banyak pelayan yang selalu siap melayaninya. Kedatangan Sang Buddha ke kapilavatthu membuat banyak orang tertarik akan Ajaran Sang Buddha dan banyak diantara mereka yang meninggalkan hidup keduniawian dan menjadi bhikkhu. Dalam keluarga Anuruddha belum ada yang menjadi bhikkhu. Oleh karena itu Mahanama mengusulkan agar salah satu dari mereka untuk menjadi bhikkhu, karena apabila keduanya menjadi bhikkhu maka tidak ada lagi yang memelihara garis keturunan keluarga.

Anuruddha yang terbiasa hidup dalam kemewahan merasa sulit untuk hidup sebagai bhikkhu, namun Mahanama membujuknya dengan menunjukkan kesukaran kehidupan sebagai perumah tangga, dan pekerjaan dalam pertanian yang tiada habisnya. Anuruddha meminta ijin dari ibunya untuk menjadi bhikkhu. Ibunya yang amat menyayanginya mula-mula menolak membei ijin, akhirnya memberi ijin dengan syarat sepupunya Bhaddiya, Raja Sakya yang menggantikan Raja Suddhodana yang telah mangkuat, juga mengikutinya menjadi bhikkhu. Ibunya berpikir bahwa tidak mungkin Bhaddiya akan meninggalkan tugasnya sebagai raja untuk menjadi bhikkhu.

Bhaddiya berkata bahwa ia mau menemani Anuruddha menjadi bhikkhu asalkan Anuruddha mau menunggu tujuh tahun lagi. Atas desakan Anuruddha, masa menunggu itu dipersingkat menjadi enam tahun, lima tahun emoat tahun, sampai satu tahun. Akhirnya Bhaddiya berjanji untuk melaksanakan hal itu tujuh hari lagi setelah ia menyerahkan tugasnya kepada anak dan saudaranya..

Anuruddha kemudian mengajak pula Ananda, Bhagu, Kimbila, dan Devadatta untuk menjadi bhikkhu. agar tidak dicurigai, mereka pergi ketaman seolah-olah akan berolahraga dengan membawa pulang tukang cuku mereka yang bernama Upali. Di tengah perjalanan mereka menuruh para pengiring pulang, dan kemudian melepaskan baju dan perhiasan yang dipakai untuk dibawa pulang oleh Upali. Tetapi Upali yang merasa takut akan kemarahan orang Sakya bila membawa pulang barang-barang itu, akhirnya mengikuti mereka untuk menjadi bhikkhu. Mereka bertemu Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi rasa kesombongan mereka dengan demikian selanjutnya mereka harus menghormati Upali sebagai bhikkhu yang lebih senior.

Bhaddiya kemudian mencapai tiga pengetahuan dan menjadi Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Devadatta memperoleh kesaktian yang dapat dicapai oleh manusia biasa, Bhagu, Kimbila dan Upali pun kemudian mencapai tingkat Arahat.

Anuruddha yang terbiasa hidup nyaman dan dilayani oleh banyak pelayan kini harus mengenakan jubah kasa, berkeliling menerima dana makanan, tidur di alam terbuka dan menjadi aturan yang keras. Dengan tekadnya yang kuat, ia dapat terbiasa dengan kehidupan sebgai bhikkhu namun merasa amat lelah dalam melaksanakan latihan-latihan itu.

Pada suatu kali ketika Anuruddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya sedang berkumpul di vihara Jetavana mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia merasa sangat mengantuk dan tertidur. Ia terbangun ketika Sang Buddha menuyebut namanya dan menyapanya dengan beberapa perkataan. Setelah khotbah selesai, dengan rasa malu Anuruddha menyampaikan rasa penyesalannya kepada Sang Buddha dan bertekad untuk tidak lagi tertidur pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha., Sejak saat itu Anuruddha tidak pernah memejamkan mata walaupun dimalam hari.

Dengan latihannya Anuruddha memperoleh mata dewa, yaitu kemampuan untuk melihat timbul lenyapnya makhluk-makhluk di alam semesta ini. Kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat. namun latihan yang keras demikian menyebabkan gangguan pada matanya sehingga tidak dapat melihat. Ketika diminta oleh Sang Buddha agar beliau tidur untuk memulihkan penglihatan matanya sesuai dengan anjuran dokter, beliau menjawab, "Bhante, dengan bertekad untuk tidak tidur saya dapat mengatasi semua penderitaan. Bagaimana saya dapat melepaskan tekad itu?".

YA Anuruddha hadir pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana dan berperan pula dalam Sidang Agung Sangha yang diadakan setelah Sang Buddha Parinibbana.Beliau dengan para bhikkhu lainnya mendesak YA Ananda untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mencapai tingkat Arahat pada Sidang Agung tersebut. YA Anuruddha mencapai Parinibbana (wafat) di desa Veluva dari Vajjian di bawah kerimbunan pohon bambu.

Rabu, 30 Maret 2011

Yang Ariya Maha Kassapa ( Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras )

Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana, maka badan jasmani beliau disiapkan untuk diperabukan. Epat orang dari suku Malla, setelah membersihkan dirinya dan mengenakan baju baru akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha. Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api jangan dinyalakan terlebih dahulu sebelum YA Maha Kassapa yang sedang dalam perjalanan menuju tempat itu memberi hormat di kaki Sang Buddha.

Saat itu YA Maha Kassapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan dari Pava ke Kusinara bertemu dengan petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinara. Dari petapa itu YA Maha Kassapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa sangat sedih, meratap dan menangis. Di antara mereka terdapat seorang bhikkhu tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia berkata, ?Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha ?Ini boleh, ini tidak boleh?. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita sukai?. Kata-kata itu membuat YA Maha Kassapa berpikir bahwa beliau harus mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran Sang Buddha.

Setelah sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan YA Maha Kassapa beserta rombongannya selesai memberi penghormatan, dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.

YA Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, ?Selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian?. Karena orangtuannya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan menikah apabilka ditemukan seorang gadis cantik dalam lukisannya itu. Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka bertemu dengan Bhadda Kapilani yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah dan hidup bersama sampai orangtua Pipphali meninggal dunia.

Pada suatu hari setelah kematian orang tuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah dipersimpangan jalan, Pipphila menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke arah kanan.

Dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta mohon diterima sebagai murid Sang Buddha. Sang Buddha mentabhiskannya dengan memberikan nasihat.

?O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada Bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.

Pada perjalanan kembali ke Rajagaha, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Dhutanga. Delapan hari kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Ia tinggal di sana selama enam tahun. Kemudian setelah Maha Pajapati Gotami diijinkan untuk menerima penahbiskan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni. Tak lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lampau.

Ya Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang bediam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal sangat rajin. Menjawab pertanyaan mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Beliau merupakan contoh yang sangat baik bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Dalam suatu pertemuan para bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha mengatakan bahwa YA Maha Kassapa adalah siswa yang terkemuka di antara mereka yang melakukan latihan yang keras.

Setelah upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, YA Maha Kassapa menceritakan ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh para bhikkhu lainnya. Tiga bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama di gua Sattapanni di Rajagaha dengan bantuan dan perlindungan dari Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh lima ratus Arahat. Sidang itu dipimpin oleh YA Maha Kassapa. Sidang itu mengulang semua peraturan vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang berlainan dan pada waktu berlainan selama empat puluh lima tahun. Sidang berakhir setelah tujuh bulan bekerja keras.

Bagi para bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, YA Maha Kassapa dianggap sebagai bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak mengherankan karena beliau merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam melaksanakan latihan yang keras. Selain itu beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tubuh tanda dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbana pada usia seratus dua puluh tahun.

Selasa, 29 Maret 2011

Kisah Yang Ariya Ananda

Pada suatu ketika dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Rajagaha, Sang Buddha yang saat itu baru berusia lima puluh lima tahun menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap untuk diriNya. Semua siswa utama seperti YA Sariputta dan YA Moggallana menawarkan diri untuk menjadi Pembantu tetap namun semuanya ditolak oleh Sang Buddha. Para Bhikkhu kemudian menganjurkan Ananda yang selama itu berdiam diri saja untuk memohon kepada Sang Buddha untuk dapat diterima sebagai pembantu tetap. Ananda mengatakan, "Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai Pembantu Tetap, Sang Bhagava boleh mangatakannya. Kemudian Sang Buddha berkata, "Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi Pembantu Tetap Sang Buddha".

Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi Pembantu Tetap asal Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu menolak empat hal dan memenuhi empat hal. Empat hal yang diminta Ananda untuk ditolak adalah: apabila Sang Buddha menerima persembahan jubah, maka juba itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; apabila Sang Buddha menerima hadiah, hadiah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti); apabila Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk dirinya. Ananda mengatakan apabila Sang Buddha melakukan hal tersebut maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi Pembantu Tetap karena ingin mendapatkan jubah bagus, makanan enak, tempat tidur menyenangkan dan ikut serta kalau Sang Buddha mendapatkan undangan.

Empat hal yang diminta Ananda untuk dipenuhi adalah: apabila Ananda menerima undangan atas nama Sang Buddha maka Sang Buddha harus memenuhinya; apabila ada orang datang dari tempat yang jauh, agar Ananda dapat membawanya menghadap Sang Buddha; apabila Ananda merasa ada sesuatu yang meragukan ia diperbolehkan bertanya kepada Sang Buddha setiap waktu; apabila Ananda tidak hadir saat Sang Buddha berkhotbah, Sang Buddha bersedia mengulanginya kembali. Apabila hal tersebut tidak diperkenankan maka orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Sang Buddha menyetujui permintaan tersebut dan sejak saat itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (Pembantu Tetap Sang Buddha).

YA Ananda terlahir sebagai putera Sukkodana, saudara Suddhodana ayah Sang Buddha, oleh karenanya ia merupakan saudara sepupu pertama Sang Buddha. Hari kelahirannya bersamaan dengan hari kelahiran Sang Buddha, bersamaan pula dengan terlahirnya Puteri Yasodhara yangkemudian menjadi isteri Pangeran Siddhattha, Channa yang kemudian menjadi kusir Pangeran Siddhatta, Kaludayi yang kemudian mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Kanthaka yang kemudian menjadi kuda Pangeran Siddhatta, seekor gajah istana, pohon Bodhi tempat Pangeran Siddhatta mencapai Penerangan Agung, Nidhikumbhi yaitu tempat harta pusaka.

Ananda memasuki Sangha bersama-sama dengan para bangsawan Sakya yaitu Mahanama, Bhaddhiya, Bhagu, Kambila, Devadatta dan tukang cukur mereka yang bernama Upali. Mereka menjumpai Sang Buddha di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Di tempat itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebanggaan mereka, mereka memohon kepada Sang Buddha untuk mentahbiskan Upali, tukang cukur mereka terlebih dahulu.

Selama vassa berikutnya, Bhaddhiya mendapatkan tiga kemampuan dan menjadi Arahat. Anuruddha mendapatkan yang kedua dari kemampuan tersebut yaitu mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk hidup Sang Buddha menyatakan Anuruddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang memperoleh maa dewa (dibbacakkhu) dan Bhaddhiya sebagai yang terkemuka di antara mereka yang mengalami kelahiran agung. Ananda mendengar khotbah YA Punnamantaniputta dan menjadi seorang Sotapanna (seorang suci tingkat pertama).

Devadatta memperoleh kekuatan gaib yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Di kemudian hari Devadatta mengembangkan pikiran jahat dan memusuhi Sang Buddha. Sedangkan Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan).

Sebagai pembantu tetap Sang Buddha, Ananda melayani Sang Buddha selama dua puluh lima tahun, mengikuti Sang Buddha bagaikan bayanganNya, membawakan air dan tusuk gigi, mencuci kaki Sang Budha, menyertai Sang Buddha ke mana saja, menyapu tempat kediaman Sang Buddha. Karena dekatnya hubungan dengan Sang Buddha, Ananda berkesempatan untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha. Karena mempunyai daya ingat yang luar biasa, Ananda dapat mengingat segala sesuatu yang diucapkan oleh Sang Buddha sehingga ia dikenal sebagai "Bendhara Dharma" (Dhamma Bhandagarika)

Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati) kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), Perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana)

Ketika Maha Pajapati Gotami, itu tiri Sang Buddha, memohon kepada Sang Buddha untuk diijinkan memasuki Sangha, Anandalah yang sangat mendukung keinginan tersebut dan berhasil memohon kepada Sang Buddha untuk memperkenankan wanita memasuki Sangha. Inilah permulaan adanya Sangha Bhikkhuni dalam agama Buddha. Ananda pulalah, atas permintaan Sang Buddha yang merancang jubah bhikkhu dengan pola menyerupai sawah di Magadha.

Meskipun mempunyai hubungan yang dekat dengan Sang Buddha, sampai pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertama di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu YA Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang Dhamma dan Vinaya sehingga dapat diketahui ajaran yang sesungguhnya. Para Bhikkhu memintanya memilih anggota pertemuan dan beliau memilih 499 arahat. Beliau diminta pula untuk memilih Ananda, karena meskipun belum mencapai Arahat, Ananda telah mempelajari Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri. Menyadari dirinya merupakan satu-satunya peserta pertemuan yang belum Arahat, sehari sebelum pertemuan dimulai Ananda melatih diri dengan sungguh-sungguh hingga larut malam. menjelang fajar, ia merasa mengantuk dan karenanya merebahkan diri. Pada saat kepalanya belum menyentuh bantal, belum lagi kakinya meninggalkan lantai, ia menyelami Empat Kemampuan Batin Luar Biasa (Abhinna). Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).

Pada hari pertemuan, Ananda memasuki ruang pertemuan dan muncul diatas tempat duduk kosong yang telah disediakan untuknya. YA Upali dipilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan YA Maha Kasyapa tentang Vinaya dan YA Ananda ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, yaitu tentang Sutta dan Abhidhamma. Oleh karena itulah tiap Sutta selalu dimulai dengan kata-kata, "Evam me sutam". 'Demikianlah telah kudengar'.

Ananda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada rekan-rekannya yang lebih mudah. beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut yaitu seratus dua puluh tahun. Menjelang wafatnya, beliau pergi ke sungai Rohini yang terletak di perbatasan antara Kapilavatthu dan Koliya. Setelah berkhotbah kepada kedua pihak, beliau berjalan ke tengah sungai dan dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Sisa badan jasmaninya dibagi dua dan ditaruh dalam stupa di Kapilavatthu dan di Koliya.

Jumat, 25 Maret 2011

Yang Ariya Moggallana (Terkemuka dalam Kekuatan Gaib)


Setelah memperoleh kekuatan gaib setelah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Sang Buddha, YA Moggallana menggunakan kekuatannya itu untuk mencari di mana ibunya terlahir kembali dan mencoba untuk membalas budi kepada ibu yang mengasuhnya hingga dewasa. Setelah menyelidiki, ditemukanlah bahwa ibunya terlahir kembali di alam neraka dan amat menderita. Melihat hal itu, YA Moggallana segera menggunakan kekuatan gaibnya mengirimkan makanan kepada ibunya. Tetapi pada saat ibunya mencoba memasukkan makanan ke mulutnya, makanan itu terbakar menjadi nyala api dan menyebabkan penderitaan yang lebih hebat dari sebelumnya.

Merasa iba dengan keadaan ibunya itu, YA Moggalana bertanya kepada Sang Buddha apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya. Sang Buddha bersabda, "Kekuatanmu sendiri tidak mampu untuk mengatasi akibat perbuatan buruk yang telah dilakukan ibumu. Kamu harus memberi persembahan kepada para bhikkhu dan meminta mereka untuk mendoakan ibumu. Doa mereka akan dapat membebaskan ibumu dari neraka". YA Moggallana melaksanakan apa yang disampaikan oleh Sang Buddha, dan jasa perbuatan baik yang dilakukannya dengan memberikan persembahan kepada para bhikkhu untuk dilimpahkan kepada ibunya dan untuk membebaskan ibunya dari alam neraka.

YA Moggallana terlahir di desa Kolita di Rajagaha, berdekatan dengan desa Nalaka tempat kelahiran YA Sariputta. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Keluarga Moggallana merupakan keluarga Brahmana penasihat raja, tinggal di sebuah rumah besar yang dapat dibandingkan dengan istana raja di Rajagaha. Setelah berdiskusi dengan Sariputta, Moggallana memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Pada mulanya keluarganya menolak dengan keras karena keluarganya menaruh harapan besar kepada Moggallana yang mempunyai kemampuan luar biasa. Namun akhirnya mereka mengijinkan karena menyadari tekad Moggallana yang kuat dan keputusannya yang mantap. Moggallana bersama Sariputta berguru kepada Sañjaya, dan kemudian datang kepada Sang Buddha untuk menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Sangha.

Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Moggallana pergi menyepi di desa Kallavalamuttagama untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh dalam meditasi. Ketika suatu kali beliau merasa mengantuk dan kehilangan semangat, Sang Buddha menampakkan diri di hadapannya dan memberi petunjuk sehingga Moggallana dapat mengatasi perasaan itu. Dengan melaksanakan petunjuk itu Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Karena pengabdiannya yang besar kepada Sang Buddha, YA Moggallana mempunyai kemampuan untuk melihat wajah dan mendengar suara Sang Buddha tidak masalah berapapun jauhnya jarak yang memisahkan mereka.

Pada suatu ketika Sang Buddha pergi ke Vihara Jetavana meninggalkan Ya Sariputta dan YA Moggallana di Vihara Hutan Bambu. Suatu hari YA Moggallana menemui YA Sariputta dan berkata bahwa beliau baru saja berbicara dengan Sang Buddha. Dengan takjub YA Sariputta bertanya, "Bagaimana caranya anda berbicara dengan Beliau yang berada sangat jauh, melewati sungai dan gunung, di Vihara Jetavana?" YA Moggallana menjawab bahwa dengan kekuatan gaibnya beliau dapat berbicara dengan Sang Buddha dan Sang Buddha menguraikan ajaran kepadanya. Mendengar hal itu, YA Sariputta berkata bengan kagum, "Sahabatku, kita semua harus menghormatimu, dekat denganmu, dan berusaha keras untuk menjadi seperti dirimu, bagaikan batu kecil yang menyerupai Gunung Himalaya yang amat tinggi."

YA Moggallana pun amat menghormati YA Sariputta. Pada suatu kesempatan, mendengar YA Sariputta menjelaskan dengan sangat fasihnya tentang Empat Jalan untuk Kebebasan, YA Moggallana berkata dengan penuh kekaguman, "Sahabatku, ajaranmu bagaikan makanan untuk mereka yang lapar, dan bagaikan minuman untuk mereka yang haus." Sang Buddha memuji mereka dengan menyatakan, "Sariputta bagaikan seorang ibu yang melahirkan dengan membangunkan pikiran untuk mencari jalan kebebasan. Moggallana bagaikan pengasuh yang merawat si anak untuk mengembangkan pikiran kebebasan. Semua bhikkhu yang melatih diri hendaklah mengambil kedua siswaKu sebagai contoh dan berjuang untuk menyamai mereka untuk mencapai kesempurnaan diri sendiri".

Dengan kekuatan gaibnya YA Moggallana sering mengunjungi surga dan alam lain serta membawa berita dari orang yang sudah meninggal dunia. Beliau mengunjungi Dewa Sakka di alam surga, bahkan Dewa Brahma Baka di alam Brahma, dan banyak orang penting dan membuat mereka yakin akan ajaran Sang Buddha. Dengan kekuatan gaibnya pula beliau mengajar Dhamma. Banyaknya orang yang mengikuti ajaran Sang Buddha menimbulkan iri hati dari kelompok kepercayaan lain. YA Moggallana yang membabarkan ajaran Sang Buddha secara terbuka dan menentang kepercayaan lain sering menjadi sasaran orang-orang itu.

Suatu ketika mereka ingin mempermalukan YA Moggallana dengan mengirim seorang pelacur untuk merayu YA Moggallana. Namun YA Moggallana dengan kekuatan gaibnya dapat mengetahui keadaan pelacur itu dan membimbingnya untuk memiliki keyakinan kepada ajaran Sang Buddha.

Pada akhirnya, YA Moggallana dibunuh oleh orang-orang yang membencinya. Mereka menyewa penjahat untuk menyerang beliau pada saat bermeditasi di gunung. Meskipun batu-batu mematahkan tulangnya, namun YA Moggallana bertekad kembali ke Vihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Sang Buddha. Setelah itu barulah beliau mencapai Parinibbana (wafat). Jenazahnya diperabukan dan reliknya diletakkan dalam sebuah cetiya pada pintu masuk Vihara Veluvana di Rajagaha. Kini relik itu dapat dijumpai pada salah satu stupa di Sanchi, India.

Senin, 21 Maret 2011

YANG ARIYA SARIPUTTA

Terkemuka dalam Kebijaksanaan

Pada suatu pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:

"Ye dhamma hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesañca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano"

"Semua benda timbul karena suatu sebab,
'Sebab' itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung"

Mendengar syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).

Sariputta terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda (Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat tinggalnya.

Pada hari kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana. Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.

Mereka kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama Sañjaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sañjaya, mereka belum juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan memberitahukan hal itu kepada lainnya.

Maka segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sañjaya. Namun Sañjaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu pergi bersama dua ratus lima puluh murid Sañjaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan kata-kata "Ehi Bhikkhu".

Tujuh hari setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi).

YA Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur, merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam menyampaikan Ajaran kepada dunia.

Dalam suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Sang Buddha pernah bersabda "Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu".

Meskipun YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu, mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati (Panglima dari Ajaran).

Ketika Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.

Pada saat Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.

Kurang lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang dipujanya ternyata menghormati putranya. Pada saat itulah YA Sariputta mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana. Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, "Saya telah bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai kesalahan, maafkanlah saya." Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.

SISWA-SISWA UTAMA SANG BUDDHA

(Sumber : Siswa-siswa Utama Sang Buddha (I);
Penyusun : Dharma K. Widya; Editor : Bhikkhu Indaratano;
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda;
Edisi Pertama, Waisak, Mei 2003)

1.
Yang Ariya Sariputta
2. Yang Ariya Moggallana
3. Yang Ariya Ananda
4. Yang Ariya Maha Kassapa
5. Yang Ariya Anuruddha
6. Yang Ariya Upali
7. Yang Ariya Rahula

SISWA-SISWA UTAMA SANG BUDDHA 2

(Sumber : Siswa-siswa Utama Sang Buddha 2;
Editor : Bhikkhu Indaratano;
Penerbit : Wanita Theravada Indonesia (WANDANI);
Edisi Pertama, Kathina, November 2003)

1. Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri
2. Yang Ariya Khema Theri
3. Yang Ariya Kisa Gotami Theri
4. Yang Ariya Patacara Theri
5. Yang Ariya Bhadda Kapilani Theri
6. Yang Ariya Sona Theri
7. Yang Ariya Ambapali Theri
8. Culla Subhada
9. Visakha

Kamis, 17 Maret 2011

Kisah Buddha Menaklukan Ular Kobra

Di tiga tempat sepanjang sungai Neranjara tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Pertama dalah yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sugai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Kedua adalah Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.



Pada suatu hari Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Buddha harus memperlihatkan bermacam-macam kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa ang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut:



"Kalau anda tidak keberatan, Kassapa, aku ingin bermalam di pondokmu."



Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan anda bermalam di pondokku. Tetapi anda harus tahu, bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku kuatir anda akan celaka," jawab Uruvela Kassapa.



"O, tidak apa-apa. Kalau anda tidak keberatan aku akan bermalam di pondokmu." "Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga anda selamat." Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.



Waktu tengah malam benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Buddha ternyata sia-sia saja. Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan Cinta Kasih (Metta) dan badanNya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.



Esok paginya Uruvela Kassapa datang menjenguk Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Buddha sedang bermeditasi. Uruvela Kassapa bertanya; "Apakah Buddha tidak diganggu oleh ular kobra? "Tidak, ular itu ada di sini," jawab Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menrima makanan. Maka, keluarlah ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Buddha menahannya dan berkata bahwa Buddha mempunyai kemampuan menjinakkan ular kobra tersebut.



Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan yang lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Tempat dimana Buddha berdiri dan berjalan, air "membelah" membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Buddha tidak basah terkena air.



Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Buddha dan ia juga tahu, bahwa ia belum mencapai kesucian Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Akhirnya Uruvela Kassapa dan lima ratus muridnya menjadi pengikut Buddha dan membuang semua peralatan pemujaan api mereka. Hal ini juga diikuti oleh kedua saudara Uruvela Kassapa yaitu Nadi Kassapa dan Gaya Kassapa beserta murid-muridnya menjadi pengikut Buddha.

Rabu, 16 Maret 2011