Kamis, 16 Juni 2011

Kisah Visakha

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
Visakha adalah puteri dari seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Dhananjaya dan ibunya bernama Sumanadevi. Kakek Visakha adalah seorang hartawan bernama Ram, yang merupakan salah satu dari lima hartawan di wilayah kerajaan Raja Bimbisara.
Pada suatu hari, ketika kakek Visakha mendengar kabar bahwa Sang Buddha sedang berjalan memasuki kota, ia mengajak Visakha yang baru berusia tujuh tahun bersama lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
“Cucuku sayang, hari ini hari bahagia untukmu dan untukku, kumpulkan lima ratus pengawal beserta lima ratus pelayan. Mari kita temui Sang Buddha”, kata kakek Visakha.
“Baiklah!” jawab Visakha. Keesokan harinya kakek Visakha mengundang Sang Buddha bersama para bhikkhu untuk menerima persembahan dana darinya. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Kakek Visakha, Visakha dan lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Ketika Visakha dewasa, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Ia dipersunting oleh Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Pada waktu ia pindah mengikuti suaminya ke Savatthi, ayahnya meminta 8 orang penasihat mengiringinya ke Savatthi.
Pada suatu hari, ketika ayah mertuanya sedang makan siang di rumahnya, seorang bhikkhu berhenti di rumah tersebut untuk berpindapatta, Visakha yang pada saat itu sedang berdiri di dekat ayah mertuanya, ketika melihat bhikkhu itu, ia lalu berpikir, adalah tidak tepat jika saya memberitahukan kepada ayah mertua tentang kedatangan bhikkhu tersebut. Ia lalu bergeser ke samping supaya ayah mertuanya melihat kedatangan bhikkhu itu.
Tapi ketika ayah mertua melihat kedatangan bhikkhu tersebut, beliau tidak perduli, dan meneruskan makan siangnya. Visakha berpikir, “Ayah mertuaku sudah melihat kedatangan bhikkhu itu tapi beliau tidak perduli.” Akhirnya ia berkata kepada bhikkhu tersebut, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa,”
Ayah mertua yang sedang makan, mendengar ucapan menantunya bahwa ia makan makanan sisa, lalu mengibaskan tangannya dan berkata dengan marah, “Buang makanan ini dan usir perempuan itu dari rumah sekarang juga!”
Visakha yang mendengar ayah mertuanya marah dan mengusirnya, berkata dengan lembut, “Ayah, tidaklah cukup alasan yang mengharuskan saya pergi dari rumah ini, ayah saya mengirim 8 orang penasihat untuk mengawasi saya apabila saya melakukan kekeliruan. Saya akan mengundang mereka dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Ayah mertuanya menyetujui ucapan Visakha untuk memanggil ke 8 penasihat tersebut. Ketika para penasihat itu berkumpul, Migara berkata, “Ketika saya sedang makan dengan piring emas, Visakha mengatakan saya sedang makan makanan sisa, maka saya mengusirnya keluar dari rumah ini.”
“Apakah benar anakku?” tanya para penasihat. “Saya tidak mengatakan demikian yang terjadi sebagai berikut, ketika seorang bhikkhu sedang berpindapata, berdiri di depan pintu, ayah mertua yang sedang makan dengan piring emas tidak mempedulikan bhikkhu tersebut.” Jadi saya berkata, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa. Saya pikir ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya di masa lampau.”
“Apakah saya berkata salah, Tuan?” tanya Visakha kepada para penasihat. “Tidak, kamu tidak bersalah, apa yang Visakha katakan seluruhnya benar”, jawab para penasihat. “Mengapa tuan marah kepadanya?” tanya salah satu penasihat kepada Migara.
Akhirnya ayah mertuanya menyadari kekeliruannya, lalu Visakha berkata, “Tuan-tuan, meskipun pada mulanya tidaklah benar bila saya meninggalkan rumah ini atas perintah ayah, dan sekarang anda telah membebaskan saya atas semua tuduhan terhadap saya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi dari rumah ini.”
Visakha lalu memberi perintah, “Beritahu kepada semua pembantu baik laki-laki atau perempuan, persiapkan kereta dan segalanya, saya mau pulang ke rumah orang tuaku.” Ayah mertua menghampirinya, “Saya memaafkanmu, menantuku.”
“Ayah, saya sebagai murid Sang Buddha, tidak dapat tinggal diam apabila ada para bhikkhu yang sedang berpindapata. Namun, apabila saya diijinkan untuk mengundang dan berdana kepada para bhikkhu, saya akan tinggal”, jawab Visakha kepada ayah mertuanya.
Kemudian ayah mertuanya berkata, “Menantuku, kamu dapat mengundang para bhikkhu sesuai dengan keinginanmu.” Visakha lalu mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya ke rumah mertuanya untuk keesokan harinya.
Ketika dana makanan telah disajikan Visakha mengundang ayah mertua untuk bertemu dengan Sang Buddha, tetapi ayah mertuanya yang mempercayai pertapa yang berpandangan salah, melarangnya. Untuk kedua kalinya Visakha meminta ayah mertuanya untuk datang.
Namun ayah mertuanya tetap bersikeras tidak mau menemui Sang Buddha. Namun Visakha bersepakat dengan ayah mertuanya untuk mendengarkan kotbah Sang Buddha dari balik tirai.
Setelah mendengar kotbah, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Migara amat berterima kasih kepada Sang Buddha dan kepada menantunya. Sejak saat itu ia menyatakan Visakha sebagai ibunya, yang kemudian dikenal sebagai Migara mata. Visakha lalu berdana makanan dan kebutuhan lain kepada Sang Buddha dan murid-murid-Nya.
Visakha hidup bahagia dan makmur, dan dari pernikahannya itu, Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
Pada suatu hari, Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama pelayannya, sesampainya di vihara ia melepaskan perhiasan yang dihadiahi ayahnya ketika ia menikah, karena terlalu berat, lalu membungkusnya dengan selendang dan meminta pelayannya untuk menjaganya. Namun, ketika pulang pelayan itu lupa membawa perhiasan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan Yang Arya Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan oleh umat.
Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara dan berkata, “Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Yang Arya Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; Saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Yang Arya Ananda.” Tetapi Yang Arya Ananda tidak menerima dana tersebut.
Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota; Vihara itu dikenal dengan nama Pubbarama, ia lalu mempersembahkan vihara itu dengan rasa bahagia kepada Sang Buddha dan murid-muridnya-Nya. Selain itu Visakha juga berdana makanan, obat-obatan dengan penuh rasa hormat, ia amat bahagia karena semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi punya keraguan, kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar menglilingi vihara.
Syair itu berbunyi :
Kapankah aku dapat mempersembahkan sebuah vihara,
tempat tinggal yang dibangun dengan semen dan batu bata.
Semoga tercapai keinginanku.

Kapankah aku dapat mempersembahkan
perlengkapannya-perlengkapannya, kasur-kasur,
kursi-kursi, karpet dan bantal-bantal.
Semoga tercapai keinginanku.

Kapankah aku dapat mempersembahkan
makanan dan minuman.
Semoga tercapai keinginanku.

Kapankah aku dapat mempersembahkan
jubah dan kain-kain.
Semoga tercapai keinginanku.

Kapankah aku dapat mempersembahkan
obat-obatan, madu dan mentega.
Semoga tercapai keinginanku.
Para bhikku yang mendengar suaranya, berkata kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, selama ini kami tidak pernah mendengar Visakha bernyanyi, tapi pada hari ini, dengan dikelilingi anak-anak dan cucu-cucunya, ia bernyanyi sambil mengelilingi vihara. Apakah ia sudah kehilangan akal sehatnya ?”
Sang Buddha menjawab, “O, para bhikkhu, anakku Visakha tidak bernyanyi, tapi ia melantunkan syair karena semua keinginannya telah terpenuhi dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Visakha pada masa lampau selalu berbuat kebaikan-kebaikan yang besar dan mempunyai keyakinan yang kuat kepada ajaran Para Buddha. Seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga-bunga.”
Kemudian Sang Buddha mengucapkan Syair 53 :
Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

Minggu, 29 Mei 2011

Kisah Culla Subhada

Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar; Bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat; Bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.

Berawal dari Anathapindika masih remaja. Ia mempunyai sahabat akrab dari anak seorang bendahara bernama Ugga, yang tinggal di kota Ugga. Mereka belajar bersama ilmu sastra di rumah seorang guru. Ketika mereka belajar bersama, mereka membuat perjanjian, "Bila kita sudah dewasa, lalu menikah dan mempunyai anak, yang perempuan akan dijadikan isteri dari anak laki-laki." Ketika kedua remaja ini menjadi dewasa, mereka menjadi bendahara, yang tinggal di kota masing-masing.

Waktu berlalu, Anathapindika telah berkeluarga dan mempunyai anak perempuan yang bernama Culla Subhadda. Pada suatu kesempatan Bendahara Ugga berkunjung ke Savatthi dengan membawa kereta untuk berdagang. Ketika itu Anathapindika berkata kepada anak perempuannya Culla Subhadda, "Anakku sayang, ayahmu Bendahara Ugga akan datang mengunjungi kita; kamu harus melayaninya dengan baik." "Baiklah ayah", jawab Culla Subhadda, ia berjanji untuk mematuhi perintah ayahnya.

Sejak Bendahara Ugga tiba, Culla Subhadda menyiapkan sendiri piring-piring, masakan dan makanan lainnya, menghiasi rumah dengan bunga-bunga, menyediakan minyak wangi, obat gosok dan lain-lain untuk menyenangkan tamunya. Ketika waktu makan tiba, ia segera menyiapkan air untuk tamunya mandi dan sesudah itu ia melayani segala macam kebutuhan tamunya itu.

Ketika Bendahara Ugga memperhatikan tingkah laku Culla Subhadda yang menyenangkan itu, hatinya bahagia. Suatu hari ia berbincang-bincang dengan Anathapindika, ia mengingatkan kembali perjanjian di antara mereka, ketika mereka masih remaja, ia lalu memutuskan untuk memilih Culla Subhadda untuk menjadi menantunya.

Sekarang ini, Bendahara Ugga berguru kepada pertapa telanjang yang mempunyai pandangan yang salah, dan Anathapindika lalu bertanya kepada Sang Budhha tentang masalah ini. Sang Guru melihat bahwa Bendahara Ugga mempunyai kemampuan untuk mempelajari Dhamma, mengijinkan Culla Subhadda untuk menjadi menantu Bendahara Ugga. Sesudah Bendahara Anathapindika membicarakan masalah ini kepada isterinya, ia lalu menerima lamaran Bendahara Ugga dan mempersiapkan upacara pernikahan puterinya.

Bendahara Anathapindika memberikan beberapa hadiah kepada putrinya. Ia memberikan Sepuluh Peringatan, kemudian berkata, "Putriku sayang, kalau kamu tinggal di rumah mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa keluar dan sebagainya." Ia juga menyediakan delapan orang pengikut sebagai penasihat, ia berpesan kepada mereka, "Kalau ada kesalahan berada di pihak puteriku, kalian harus memberitahukan kesalahannya."

Ketika ia hendak melepaskan puterinya, ia berdana yang luar biasa besarnya kepada Bhikkhu Sangha, yang dipimpin oleh Sang Buddha, dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa puterinya telah melakukan perbuatan baik sehingga puterinya memperoleh kebahagian, ia lalu melepas puterinya pergi dengan penuh rasa bahagia.

Ketika Culla Subhada tiba di kota Ugga, seluruh anggota keluarga mertuanya dan keluarga besar lainnya datang menyambut dengan penuh kehangatan. Ia memasuki kota dengan berdiri di atas kereta kencana, berpawai ke sekeliling kota, yang memperhatikan kebesaran dan kebahagiaannya. Ia menerima banyak hadiah dari penduduk, sehingga menimbulkan hubungan dan pengertian yang baik dengan penduduk di sekitarnya. Seluruh kota membicarakan dengan penuh hormat kecantikan dan keluhuran budinya.

Sekarang ini, ayah mertuanya sedang menjamu para pertapa telanjang pada suatu festival, dan pada saat itu ia mengirimkan pesan kepada menantunya, "Panggillah ia masuk, untuk memberikan hormat kepada pertapa-pertapa kita."

Tetapi dengan penuh kerendahan hati Culla Subhadda menolak untuk bertemu dan masuk menemui mereka. Berkali-kali mertuanya memberikan pesan supaya menantunya datang dan berkali-kali pula ia manolak untuk masuk. Akhirnya ayah mertuanya marah dan memerintahkan, "Usir dia keluar dari rumah ini!"

Tetapi ia menolak, "Tidak seorangpun dapat menghukum tanpa suatu alasan." Dengan segera Culla Subhadda mengumpulkan para penasihat yang mengiringinya dan menerangkan permasalahan di hadapan mereka.

Ayah mertua berbincang-bincang dengan isterinya tentang masalah ini dan berkata, "Perempuan ini menolak untuk memberikan hormat kepada para pertapa kita, alasannya karena mereka 'tidak sopan'." Ibu mertuanya berkata, "Bagamanakah tingkah laku para bhikkhunya, sehingga ia puja sedemikian tinggi ?"

Ia lalu memanggil Culla Subhadda dan berkata, "Bagaimanakah tingkah laku para bhikkhumu, yang kamu puja sedemikian tinggi? Apa yang mereka pahami dan bagaimana mereka mempraktekannya? Jawablah pertanyaan saya."

Dalam menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Culla Subhadda menjelaskan tentang kemuliaan dan keluhuran dari Sang Buddha dan Ajaran-Nya sebagai berikut :

"Tenang ucapan mereka,
tenang pikiran mereka,
tenang langkah mereka berjalan,
tenang pendirian mereka
Mereka melihat ke bawah;
sedikit yang mereka ucapkan.
Itulah para bhikkhu saya.

Perbuatan mereka bersih,
Ucapan mereka bersih,
Pikiran mereka bersih,
Itulah para bhikkhu saya.

Tidak bernoda seperti mutiara,
Murni di dalam dan di luar
Penuh dengan sifat-sifat baik,
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira dengan keuntungan dan
bersedih karena kerugian.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; keuntungan dan kerugian.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena terkenal dan
bersedih karena tidak terkenal.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; terkenal atau tidak terkenal.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena pujian dan
bersedih karena celaan.
Tetapi mereka tidak bereaksi
terhadap keduanya; pujian dan celaan.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena kesenangan dan
bersedih karena penderitaan.
Tetapi mereka tidak berubah
terhadap kesenangan dan penderitaan.
Itulah para bhikkhu saya".

Dengan kata-kata yang diucapkannya itu, dan pada saat itu juga Culla Subhadda memuaskan ibu mertuanya. Sehingga ibu mertuanya bertanya kepadanya,
"Mungkinkah bagi kami untuk bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu kamu?"
"Tentu saja mungkin," jawab Culla Subhadda.
"Kalau begitu, aturlah supaya kami dapat bertemu dengan mereka," tanya ibu mertuanya.
"Baiklah," jawab Culla Subhadda.


Kemudian Culla Subhadda menyiapkan persembahan-persembahan kepada Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha.

Ia lalu berdiri di lantai paling atas di istana dan menghadap Vihara Jetavana, sambil menghormat, ia merenungkan kebajikan-kebajikan Sang Buddha. Ia menghormati Sang Buddha dengan mempersembahkan dupa, wewangian dan bunga-bunga, lalu ia melemparkannya ke udara delapan genggam bunga melati, sambil berkata dengan penuh hormat,
"Yang Mulia saya mengundang Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha besok pagi, semoga Sang Guru mengetahui permohonan undangan saya melalui bunga-bunga ini."

Bunga-bunga ini lalu melayang di udara dan membentuk payung bunga yang indah diatas Sang Buddha ketika Beliau sedang membabarkan Dhamma di tengah para bhikkhu.

Pada waktu itu Anathapindika, yang sedang mendengarkan Dhamma, mengundang Sang Buddha untuk menjadi tamunya besok pagi. Sang Buddha lalu menjawab,
"Saudara, saya sudah menerima undangan untuk besok pagi."
"Tetapi Yang Mulia," jawab Anathapindika, "Tidak ada seorangpun yang datang ke sini sebelum saya, undangan siapakah Yang Mulia terima?"

Sang Guru berkata :
"Culla subhadda mengundangku, saudara."
"Tetapi, Yang Mulia, bukankah Culla Subhadda tinggal jauh dari sini, kira-kira seratus dua puluh leagues (1 league = 4,8km) dari sini ?"
"Ya," jawab Sang Buddha. "Tetapi perbuatan baik, meskipun jauh dapat menampakkan dirinya seperti saling berhadapan." Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair :

"Meskipun dari jauh,
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak
pegunungan Himalaya.
Tetapi meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
Bagaikan anak panah yang dilepaskan
pada malam hari."


Dewa Sakka, raja para dewa menyadari bahwa Sang Guru telah menerima undangan Culla Subhadda, memberikan perintah kepada Dewa Vissakamma:
"Ciptakanlah lima ratus pagoda dan pada esok hari antarkanlah Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha menuju Kota Ugga."

Keesokan paginya, Dewa Vissakamma menciptakan lima ratus pagoda dan menunggu di depan pintu Vihara Jetavana. Sang Buddha memilih lima ratus Arahat, dan rombongan ini bersama-sama lalu duduk di pagoda, dan melalui udara menuju Kota Ugga.

Bendahara Ugga beserta rombongan, dengan dikepalai oleh Culla Subhadda berdiri menunggu di jalan, di mana Sang Buddha akan tiba. Ketika ia melihat Sang Buddha mendekati dengan semua kemegahan dan keagungan-Nya, hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa.

Ia menyampaikan penghormatan yang tertinggi dengan karangan bunga dan persembahan lainnya, mengundang Sang Guru untuk memasuki rumahnya, dan menyampaikan hormatnya. Ia mempersembahkan berbagai macam dana, mengundang Sang Buddha berkali-kali untuk bersedia menjadi tamunya. Selama tujuh hari ia mempersembahkan dana yang luar biasa besar.

Sang Buddha lalu mengingatkannya untuk selalu berbuat kebaikan dan membabarkan Dhamma kepada ayah mertuanya.

Dimulai dengan Bendahara Ugga, delapan puluh empat ribu makhluk hidup, mencapai pengertian terhadap Dhamma Yang Mulia.

Sebagai hadiah atas kemurahan hati Culla Subhadda, Sang Buddha lalu meminta Yang Mulia Anuruddha untuk tetap tinggal, dengan berkata, "Kamu tetap tinggal di sini."

Sang Buddha lalu kembali ke Savatthi. Sejak saat itu kota Ugga menjadi kota yang penduduknya mengerti akan Dhamma Yang Mulia, kota yang sejuk dan damai.

Minggu, 22 Mei 2011

Kisah Yang Ariya Ambapali Theri

Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah salah.

Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).

Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.

Banyak pangeran dari Licchavi ingin menikahinya. Mereka saling bertengkar ingin menjadikan Ambapali sebagai isteri. Untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, mereka berdiskusi dan sepakat memutuskan,
"Biarlah Ambapali menjadi milik semua orang."

Dengan demikian, Ambapali menjadi wanita penghibur. Dengan sifatnya yang baik, dia melatih ketenangan dan kemuliaan. Ambapali sering memberikan dana dalam jumlah besar dalam setiap kegiatan amal. Walaupun Ambapali seorang wanita penghibur, namun dia terlihat seperti ratu yang tak bermahkota di Kerajaan Licchavi itu.

Ketenaran Ambapali menyebar dan terdengar oleh raja Bimbisara dari Magadha. Kemudian Raja Bimbisara menemuinya, Beliau sangat terpesona akan kecantikannya. Terjalinlah hubungan diantara Raja Bimbisara dengan Ambapali, dari hubungan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki.

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesali dan tinggal vihara di hutan mangga. Ambapali datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan khotbah kepada Ambapali. Keesokan harinya Ambapali mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumahnya.
"Yang mulia, saya mengundang Yang Mulia bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan, besok pagi di rumah saya," mohon Ambapali. Sang Buddha menerima undangan itu.

Setelah itu Ambapali dengan tergesa-gesa meninggalkan Pangeran Licchavi yang saat itu berada di dalam kereta, pangeran itu berusaha menemukan alasannya dan bertanya,
"Ambapali, ada apa gerangan sehingga kau berkeliling menemaniku dengan tergesa-gesa?"

"Pangeran, saya baru saja mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumah besok pagi, untuk menerima dana makanan dan saya ingin meyakinkan bahwa semua telah dipersiapkan dengan baik", jawab Ambapali.

Mengetahui hal tersebut para bangsawan Licchavi memohon kepada Ambapali untuk memberikan hak istimewa tersebut kepada mereka, dengan menawarkan kepadanya seratus ribu logam emas, tapi Ambapali menolak tawaran tersebut. Kemudian para bangsawan Licchavi itu datang menemui Sang Buddha, dan berkata,
"Izinkanlah kami besok mengundang Yang Mulia dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan besok pagi." Undangan makan dari para bangsawan Licchavi tersebut terjadi di hari yang sama dengan undangan makan Ambapali. Sang Buddha tidak menerima undangan tersebut, dan berkata, "Saya telah menerima undangan Ambapali lebih dahulu."

Keesokan paginya Sang Buddha dan para bhikkhu datang ke rumah Ambapali untuk menerima dana makanan. Setelah selesai menerima dana makanan tersebut, Ambapali mempersembahkan hutan mangga tersebut kepada Sang Buddha.

Pada suatu hari, anak Ambapali dari Raja Bimbisara, bernama Vimala-Kondañña, yang telah menjadi seorang bhikkhu dan telah mencapai Tingkat Kesucian Arahat, memberikan khotbah Dhamma. Setelah mendengar khotbah dari anaknya tersebut, Ambapali meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi anggota Sangha Bhikkhuni. Beliau menggunakan tubuhnya sebagai obyek meditasi, merefleksikan sifat-sifat ketidakkekalan, dengan melatih meditasi dengan giat, Beliau akhirnya mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Dalam versi Therighata, dikatakannya pada saat Beliau tua, Beliau membandingkan kecantikannya yang ia miliki dahulu dengan keadaan sekarang :

Rambutku hitam,
bagai warna kumbang,
diujungnya berikal
Karena usia tua,
sekarang bagai serat kulit kayu rami
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Ditutupi bunga,
rambutku wangi bagai kotak parfum
Sekarang karena usia tua,
baunya bagai bulu anjing
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya alisku nampak
demikian indah,
bagai lukisan bulan sabit
yang dilukis sangat indah,
karena usia tua,
tergantung ke bawah oleh kerutan.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Mataku berbinar,
sangat bercahaya bagai permata,
Berwarna biru gelap dan
berbentuk panjang,
Dipengaruhi oleh usia tua,
tidak lagi kelihatan cantik
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya gigiku nampak indah,
bagai warna kuncup
tanaman yang masih muda.
Karena usia tua,
hancur dan menghitam.
Ucapan Pembabar Kebenaran
t idaklah salah.
Sebelumnya, kedua dadaku
nampak indah, menggembung
bundar, berdekatan, menjulang,
Sekarang keduanya turun
bagai kantung air kosong
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya tubuhku nampak indah,
bagai lembaran emas yang digosok.
Sekarang penuh oleh
kerutan-kerutan halus
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya kedua kakiku
nampak indah,
bagai (sepatu) yang penuh kapas.
Karena usia tua,
menjadi retak-retak dan berkeriput.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Demikianlah tubuh ini.
Sekarang berkeriput,
tempat berbagai rasa sakit
bersemayam,
rumah tua dengan plesteran dinding
yang mengelupas.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Kamis, 28 April 2011

Kisah Yang Ariya Sona Theri

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang berjuang penuh dengan semangat.
Sona adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai sepuluh orang anak. Beliau merawat, mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Seluruh hidupnya dicurahkan hanya untuk anak-anaknya, oleh karena itu ia dikenal sebagai Sona “Si Banyak Anak”.
Suami Sona adalah pengikut Sang Buddha, ia belajar banyak mengenai kehidupan. Setelah beberapa tahun menjadi kepala rumah tangga, suami Sona memutuskan untuk terbebas dari belenggu kehidupan dengan cara menjalani kehidupan suci. Dengan persetujuan Sona sebagai isterinya, suami Sona meninggalkan keluarganya, menjalani kehidupan suci dan ditahbiskan (upasampada) sebagai bhikkhu. Sona menjadi orang tua tunggal yang menghidupi dan merawat kesepuluh anak-anaknya itu dengan susah payah.
Waktu berlalu, Sona telah tua, dan anak-anaknya telah berkeluarga. Sona banyak menghabiskan waktunya pada kegiatan-kegiatan keagamaan. Walaupun demikian Sona yang telah tua, merasa takut dan cemas menghadapi hari tuanya. Sona merasa ia hanya menjadi beban bagi keluarga anak-anaknya saja. Sona takut akan kesepian, ditinggalkan oleh anak-anaknya.
“Aku sekarang sudah tua, sudah tidak seperti dulu lagi, akankah anak-anakku menyokongku…, memperhatikanku…, merawatku ketika sakit, seperti aku merawat mereka, bagaimanakah aku nanti…?” Sona menyadari kenyataan bahwa ia tidak dapat menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya, tapi harus bergantung kepada diri sendiri.
Pemikiran ini, membuat Sona memutuskan untuk mengikuti jalan hidup suaminya, yaitu menjalani kehidupan suci dan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni, sehingga ia dapat mengembangkan cinta kasih dan sifat-sifat kebajikan.
Saat memasuki Sangha Bhikkhuni, Sona yang sudah lanjut usia itu membawa kebiasaan-kebiasaannya sendiri, ia harus menghadapai hal-hal baru yang tidak pernah dilakukannya, sehingga sering mendapat kritik dan saran dari para bhikkhuni lainnya yang lebih muda, namun memiliki vassa yang lebih banyak. Sona menyadari bahwa tidak mudah untuk mencapai pencerahan, harus berlatih dengan giat dan penuh semangat.
Dengan usianya yang telah lanjut, Sona merasa tidak banyak waktu lagi untuk berlatih sebelum meninggalkan dunia ini. Oleh karena itu, Sona berlatih meditasi dengan giat. Setiap malam ia habiskan waktunya untuk bermeditasi dengan sikap duduk dan sikap berjalan, dan Sona hanya tidur sebentar.
Dalam kegelapan malam, Sona berlatih meditasi jalan sambil memegang pilar demi pilar vihara, berjaga-jaga agar tidak tersandung benda.
Dengan usahanya yang giat, tanpa mengenal lelah, ia sendirian di dalam ruangan vihara, dimana para bhikkhuni lainnya sedang keluar, Sona mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Dia menggambarkan dalam kata-katanya sendiri terdapat dalam Apadana :
Pada saat para bhikkhuni lainnya
meninggalkanku sendiri di vihara
Mereka telah memberikanku instruksi
Merebus seketel air

Mengambil air
Menuangkannya ke dalam ketel
Menaruh ketel di atas kompor dan duduk
Kemudian pikiranku menggubah

Aku melihat bahwa
Sesuatu tidak kekal,
Aku melihat sesuatu
sebagai penderitaan dan tidak berinti
Melepaskan segala kekotoran batin
Di sana aku mencapai Arahat

Kamis, 14 April 2011

Kisah Yang Ariya Bhadda Kapilani Theri

Setelah melihat bahaya kehidupan dunia, kami berdua menjadi pertapa dengan memusnahkan kekotoran batin dan kami mencapai Nibbana
Bhadda Kapilani dilahirkan di dalam keluarga yang makmur dari suku Kosiya. Bhadda tumbuh menjadi dewasa di Sagala, ibukota dari kerajaan Madda. Pada suatu hari, ketika Bhadda masih kecil, ia melihat seekor burung gagak memakan serangga dan serangga tersebut kelihatan sangat menderita bergeliat-geliut diantara benih wijen kering. Kejadian tersebut sangat menakutkan Bhadda. Tetapi yang lebih menakutkan lagi ketika beberapa anak yang lebih tua mengatakan bahwa kematian serangga tersebut merupakan kesalahan Bhadda. Walaupun kejadian tersebut terlihat biasa, tetapi tidak menurut Bhadda. Semenjak kejadian itu, Bhadda mengambil keputusan untuk melepas hidup keduniawian.
Ternyata kejadian yang sama menimpa seorang anak laki-laki, yang kelak menjadi suami Bhadda, bernama Kassappa. Ketika itu Kassappa sedang berdiri di tengah-tengah sawah yang telah dibajak. Kassappa yang pada saat itu masih kecil melihat cacing-cacing sedang dimakan oleh burung-burung. Dia merasa bersalah atas penderitaan itu. Sama seperti Bhadda, dia memutuskan untuk menjadi pertapa.
Masing-masing tumbuh di kedua tempat yang berbeda. Bhadda dan Kassappa tetap pada keputusannya untuk menjadi pertapa. Keduanya bertekad bahwa mereka tidak akan menikah. Keputusan ini membuat kedua orang tua mereka menjadi sedih.
Orangtua Kassappa membujuk Kassappa untuk menikah.
“Kassappa, kami ingin melihat kamu berkeluarga”, ucap ayah Kassappa.
Namun Kassappa menolak,
“Maaf ayah, saya sudah memutuskan untuk tidak menikah.”
Orang tua Kassappa mendesak terus supaya Kassappa menikah, akhirnya ia menyetujuinya, tetapi dengan sebuah persyaratan,
“Ayah Ibu, aku akan menikah, tetapi carilah wanita yang wajahnya mirip dengan patung yang akan aku buat”, kata Kassappa kepada kedua orangtuanya.
Kassappa lalu membuat sebuah patung wanita yang sangat cantik. Orang tuanya kemudian mengutus orang-orang untuk mencari wanita cantik di seluruh negeri yang mirip dengan patung itu. Akhirnya ditemukanlah wanita cantik yang menyerupai patung yang dibuat oleh Kassappa itu.
“Kami telah menemukan wanita cantik yang dicari, ia benama Bhadda Kapilani”, lapor seorang yang ditugaskan itu kepada orang tua Kassappa.
Mereka amat bahagia karena anaknya akan menikah. Sungguh luar biasa dapat menemukan wanita yang persis sama seperti patung itu.
Kegembiraan itu juga dirasakan oleh orang tua Bhadda.
“Mari segera kita persiapkan pesta pernikahan Kassappa dengan Bhadda!”, ucap ayah Kassappa dengan bersemangat.
Kemudian kedua orang tua Kassappa dan Bhadda merencanakan pesta pernikahan untuk mereka secara rahasia. Mengetahui rencana pernikahan tersebut, Bhadda dan Kassappa berusaha untuk membatalkannya dengan cara menulis surat kepada kedua orangtuanya, yang berisi bahwa mereka akan menjadi pasangan suami isteri yang tidak harmonis.
Tetapi taktik surat tersebut tidak behasil dan pesta pernikahan tetap dilangsungkan. Namun sesudah pernikahan tersebut, Kassappa dan Bhadda sepakat untuk tidak mewujudkan kehidupan berumah tangga, mereka sepakat untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka saling memotong rambut mereka satu sama lain, mengenakan jubah kuning, memberikan kebebasan kepada pelayan-pelayannya dan menjadi pertapa.
Kassappa dan Bhadda meninggalkan rumah, Bhadda berjalan mengikuti Kassappa, mereka menyadari bahwa berjalan bersama-sama kesana kemari, akan menimbulkan prasangka, maka mereka memutuskan untuk berpisah. Kassappa mengambil arah kanan sedangkan Bhadda mengambil arah kiri.
Setelah berselang beberapa waktu Kassappa menjadi pengikut Sang Buddha dan ditahbiskan (upasampada) menjadi bhikkhu. Bhadda tinggal di Titthiya rama dekat hutan Jeta di Savatthi.
Setelah kurang lebih 5 tahun pada saat Maha Pajapati Gotami membentuk Sangha Bhikkhuni, kemudian Bhadda ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni
Kassappa, Sang Putera,
pewaris Sang Buddha,
penuh konsentrasi,
yang mengetahui bahwa
Ia telah hidup dimasa lampau,
Ia telah melihat surga dan neraka.
Kassappa memutuskan lingkaran
tumimbal lahir, mencapai Arahat,
karena ketiga pengetahuan yang ia
miliki maka ia disebut brahmana
pemilik Tiga Pengetahuan.

Dengan cara yang sama,
Bhadda Kapilani pemilik Tiga Pengetahuan,
Setelah meninggalkan kematian,
melanjutkan sisa kehidupan
jasadnya yang terakhir kali,
setelah menaklukkan Mara dan
para pengikutnya.

Setelah melihat
bahaya kehidupan dunia,
kami berdua menjadi pertapa dengan
memusnahkan kekotoran batin
dan kami mencapai Nibbana.

Rabu, 13 April 2011

Kisah Yang Ariya Patacara Theri

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari, ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia seba

gai istri orang miskin. Tidak berselang lama, ia hamil, dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya, ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai umtuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.

Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakuti-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan ke dua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan keras, "Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!" Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab, badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk." Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Budha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.

Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra." Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci "Anamatagga Sutta", yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasikan nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangkan air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasaNya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak-memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut:

"Yo ca vassasatam jive
apassam udayabbayam
ekaham jivitam seyyo
passato udayabbayam."


Walaupun seseorang hidup seratus tahun,
tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi,
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

  1. Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Sabtu, 09 April 2011

Kisah Yang Ariya Kisa Gotami Theri

Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Kisa Gotami adalah seorang gadis dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi. Nama sebenarnya adalah "Gotami". Tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil "Kisa". Setiap orang yang melihat Kisa Gotami berjalan, dengan badannya yang tinggi dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada di dalam dirinya.

Kisa Gotami sulit mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik. Namun secara tak terduga kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya yang menganggap bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja. Pedagang kaya itu kemudian menikahi Kisa Gotami.

Kisa Gotami tidak menduga ternyata keluarga suaminya memandang rendah dirinya karena kasta, kemiskinan, dan penampilan dirinya. Hal-hal tersebut membuat Kisa Gotami sangat menderita, terutama karena suaminya tercinta harus menghadapi konflik antara orang-orang yang ia sayangi, yaitu orangtua dan isterinya.
"Akankah keluarga suamiku memandang rendah dan menyalahkan diriku atas semua yang telah terjadi?"
"O, tidak, aku harus berbuat sesuatu", pikirannya amat kalut.

Kejadian tersebut membuat Kisa Gotami menjadi gila, apalagi dia tidak pernah melihat kematian sebelumnya. Kisa Gotami tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal, dia menganggap anaknya hanya sakit dan harus mendapatkan obat untuk menyembuhkannya.

Dengan menggendong anaknya, Kisa Gotami meminta obat dari rumah ke rumah
"Tolong..., oh tolonglah, berikanlah obat untuk anakku yang sakit ini", ucapnya dengan penuh pengharapan.

Tidak sedikit orang yang mengejeknya tanpa perasaan, namun ada seorang baik hati dan bijaksana yang iba melihatnya, kemudian dia menasihatinya untuk menemui Sang Buddha.
"Saudari, pergilah kepada Sang Buddha, Beliau memiliki obat yang kamu butuhkan", kata orang baik hati dan bijaksana itu.

Dengan bergegas Kisa Gotami menemui Sang Buddha di Jetavana, di kediaman Anathapindika, di mana Sang Buddha sedang bermalam. Kemudian Kisa Gotami memohon kepada Sang Buddha,
"Yang Mulia.... tolong ...... tolonglah…… berikanlah obat yang dapat menyembuhkan anakku yang sakit ini."

Lalu Sang Buddha menjawab,
"Gotami, mintalah segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah mengalami kematian."

"Baik, Yang Mulia," Kisa Gotami berkata dengan pikiran gembira.
Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia itu, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada.
"Bolehkah saya meminta segenggam biji lada?" tanya Kisa Gotami.
"Oh ... tentu saja," jawab si tuan rumah, kemudian diberikanlah segenggam biji lada kepada Kisa Gotami.

Kemudian Kisa Gotami bertanya lagi,
"Apakah di rumah ini tidak pernah mengalami kematian dari salah satu anggota keluarga."
"Tentu saja pernah", jawab si tuan rumah. Kemudian Kisa Gotami meninggalkan rumah tersebut dan menanyakan hal yang sama ke rumah-rumah lainnya. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian dari anggota keluarga belum pernah terjadi.

Hari sudah menjelang malam dan akhirnya Kisa Gotami menyadari bahwa bukan hanya ia seorang yang terpukul karena kematian orang yang disayangi.
Ternyata terdapat banyak orang yang telah meninggal dunia, ini merupakan segi-segi kehidupan manusia. Kisa Gotami menjadi sadar dan mengerti bahwa pada setiap kelahiran pasti ada kematian.

Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya. Kisa Gotami memakamkan anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha.
" Sudahkah kamu mendapatkan biji lada, Gotami?" tanya Sang Buddha.

"Yang Mulia, Saya tidak mendapatkan segenggam biji lada dari rumah yang keluarganya belum pernah mengalami kematian," jawab Kisa Gotami.

Kemudian Sang Buddha berkata,
"Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya."
Tak lama setelah menjadi bhikkhuni, Kisa Gotami mempelajari sebab-sebab kemunculan dari benda-benda.

Pada suatu hari, ketika Kisa Gotami sedang menyalakan beberapa lampu, ia melihat beberapa api lampu mati dan yang lainnya masih menyala. Tiba-tiba Kisa Gotami mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha dengan kemampuan-Nya yang luar biasa melihat dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar serta menampakkan diri-Nya di hadapan Kisa Gotami. Sang Buddha berkata kepada Kisa Gotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk mencapai Nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 114 berikut:

"Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (Nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat "keadaan tanpa kematian"."

Kisa Gotami mencapai Tingkat Kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Selasa, 05 April 2011

Kisah Yang Ariya Khema Theri

Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang “Brahmana “
Khema berasal dari keluarga yang berkuasa di Desa Sagala Magadha. Ia sangat cantik, kulitnya berwarna kuning keemasan. Kecantikan Khema tersebut membuat Raja Bimbisara meminang Khema dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ketika Ratu Khema mendengar lagu tersebut menjadi penasaran, karena hutan Veluvana yang digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.
“Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?” , tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.
“Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang tentang hutan Veluvana”, jawab mereka.
Setelah mendengar lagu dari penyanyi tersebut Ratu Khema lalu menjadi ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.
Sang Buddha yang pada saat itu sedang berkumpul membabarkan Dhamma kepada murid-murid-Nya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu Sang Buddha menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping-Nya.
Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, “Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang paling utama. Tetapi di sisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini”, ucap ratu Khema dengan kagum. Ratu Khema tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangannya hanya tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema amat serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahan-lahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulang belulang. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan, “Pada suatu saat nanti, wajah yang muda dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua itu bukan kenyataan!”
Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata,
“Khema, inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah. Sekarang lihatlah semua kenyataan ini.”
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
“Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh”.
Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat kesucian Pertama (Sottapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Khema, semua mahluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja”.
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
“Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepas kesenangan-kesenangan indria”.
(Dhammapada, Tanha Vagga No. at)
Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbimsara,
“Baginda, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai nibbana?”
Raja Bimbisara menjawab, “Yang Mulia, izinkanlah ia memasuki Sangha bhikkuni, jangan dulu mencapai nibbana!”
Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.

Senin, 04 April 2011

Kisah Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri

Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran serta dapat mengendalikan diri dalam 3 saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang “Brahmana”
Maha Pajapati Gotami, yang terkenal sebagai salah satu pembentuk Sangha Bhikkhuni, berasal dari suku Koliya. Pada waktu Maha Pajapati Gotami dilahirkan, seorang peramal meramalkan bahwa jika besar nanti ia akan menjadi pemimpin dari suatu perkumpulan yang mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu ia diberi nama “Pajapati”, yang berarti pemimpin suatu perkumpulan besar, sedangkan “Maha” merupakan suatu awalan yang berarti luar biasa.
Maha Pajapati Gotami mempunyai kakak perempuan bernama Maya, kakak beradik ini menikah dengan Raja Suddhodana, dan tinggal bersama di Kapilavatthu. Kakak Maha Pajapati Gotami, Ratu Maya hamil lebih dahulu, yang kemudian melahirkan Pangeran Siddharta. Tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddharta, Ratu Maya meninggal dunia.
Sudah menjadi tradisi, Maha Pajapati Gotami menggantikan kakaknya, menjadi Permaisuri dari Raja Suddhodana. Maha Pajapati Gotami walaupun sebagai ibu tiri, beliau menyusui dan mengurus Pangeran Siddharta seperti anaknya sendiri. Dari pernikahannya dengan Raja Suddhodana melahirkan dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan bernama Sundari-Nanda dan seorang anak laki-laki bernama Nanda.
Waktu berlalu, Pangeran Siddharta yang telah mencapai ke-Buddha-an datang berkunjung ke Kapilavatthu, bersemayam di Nigrodharama (Taman Banyan), ketika itu Raja Suddhodana telah mangkat. Mendengar kabar kedatangan Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami, bersama-sama dengan lima ratus wanita datang menemui Sang Buddha dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, dan mengajukan permohonan,
“Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Tanpa menjelaskan alasan-Nya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata,
“Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Untuk kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.
Kemudian, ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalannya menuju Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada di Mahavana (Hutan Besar) di Ruang Kutagara (Ruang Menara).
Ketika itu Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan lima ratus wanita pengikutnya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di Ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh airmata, berdiri dengan menangis di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang menangis dan menanyakan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui Sang Buddha dan berkata,
“Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci.”
“Cukup, Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata”, jawab Sang Buddha.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.
“Yang Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?”
Sang Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai Tingkat-tingkat Kesucian.
Mendengar jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha Sempurna dengan berkata,
“Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata.”
Akhirnya, setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu berkata,
“Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar.”
Yang Mulia Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami, ia dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.
Maha Pajapati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan Bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Maha Pajapati Gotami, oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Tambahan :
Dengan munculnya Sangha Bhikkhuni, Sang Buddha lalu menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang, dengan bersabda,
“Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan sepuluh ribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diijinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang mulia hanya akan bertahan selama lima ribu tahun.”
Sang Buddha menambahkan,
“Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama.”
“Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka.”
Pernyataan ini, tentu saja tidak begitu menyenangkan bagi para wanita, Sang Buddha tidaklah bermaksud untuk menghukum, tetapi memperhitungkan hal ini karena kelemahan fisik wanita itu sendiri.
Meskipun ada beberapa alasan yang masuk akal, Sang Buddha dengan berat hati mengizinkan wanita untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni, hal ini menujukkan kebesaran hati Sang Buddha, dan merupakan yang pertama kali di dalam sejarah dunia ini, terbentuknya Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan selama hidupnya.

Sabtu, 02 April 2011

Kisah Yang Ariya Rahula


Rahula adalah anak satu-satunya Sidharta Gautama. Rahula tidak pernah melihat ayahnya sejak kecil. Kakek Rahula, Raja Suddhodana sangat memanjakannya dan ibunya sangat mencintainya. Ketika Rahula cukup umur untuk mengerti, ia sering bertanya kepada ibunya, "Ibu, bagaimanakah rupa Ayah?".

Yasodhara selalu menjawab, "Ayahmu, Pangeran Siddhattha, adalah orang paling berani dan paling pintar di seluruh India".

Rahula juga sering bertanya kepada kakeknya, "Kakek, ke mana ayah pergi? Kenapa ia tidak pulang?".

Raja Suddhodana juga tidak begitu mengerti kenapa Pangeran Siddhattha meninggalkan Istana dan keluarga sehingga ia selalu menjawab, "Ayahmu pergi ke pegunungan dan daerah terpencil untuk berperang dengan sakit, umur tua, dan kematian. Jika Ayahmu memenangkan pertempuran itu, maka kita tidak akan menderita lagi."

Oleh karena itu, sejak kecil, Rahula sangat percaya bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pemberani. Setiap hari, ia menunggu ayahnya untuk segera pulang.

Ketika ayahnya Pulang ke Kapilavatthu, Rahula bahkan lebih gembira lagi. Ia berdiri di tempat tertinggi di istana untuk menyaksikan ayahnya dan keajaibaannya dari kejauhan. Ia melihat ribuan orang berlutut di tanah untuk menghormat kepada Buddha. Orang-orang menaburkan bunga segar ke tubuh Buddha dan menyerukan perasaan sukacita dan bangga. Ia pun menjadi sangat senang dan Bangganya

Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya kejendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodara kemudian bertanya kepada Rahula, "Anakku, tahukah engkau siapa orang itu?"

Rahulu menjawab, "Beliau adalah Sang Buddha, ibu".

Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, "Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah harta pusaka untukmu".

Ketika Buddha berjalan menuju istana, Rahula bersujud dengan membaringkan tubuhnya di atas tanah, cara ini adalah bentuk penghormatan yang tertinggi dalam budaya India Pangeran Rahula yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya. Kemudian ia menambahkan "Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang".

Buddha menyentuh Rahula dan berkata, "Nak, kamu sudah besar".

Rahula mengetahui bahwa Pamannya, Nanda, telah menjadi bikkhu dan merasa iri karena ia berpikir bahwa pamannya selalu dapat berdekatan dengan Ayahnya sehingga kemudian ia pun berkata berkata pada ayahnya, "Ayah, aku ingin bersamamu.

Aku juga ingin menjadi bhikkhu untuk mempelajari kebenaran." Sang Buddha menjawab, "Suatu hari nanti, kamu boleh ikut Aku sebagai bikkhu" Buddha berkata dengan penuh belas kasih.

Selesai makan Siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikut sambil terus merengek, "Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku harta warisan".

Tak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Buddha melihat bahwa Rahula anak yang pintar, baik hati, dan dapat menjadi anak Buddhis yang baik. Yasodhara mengamati mereka dari atas balkon istana. Dia tahu bahwa Buddha telah mengijinkan Rahula untuk kembali bersamaNya ke wihara hari itu.

Setibanya Sang Buddha di taman, beliau berpikir, "Rahula minta warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang aku peroleh dibawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewaisi harta pusaka yang paling mulia".

Di Vihara, Sang Buddha meminta Moggallana untuk mencukur kepala Rahula dan meminta Sariputta menjadi guru Rahula. Sariputta kemudian Menabhiskan Rahula sebagai Samanera(Calon Bikkhu). Dengan demikian Rahula merupakan samanera pertama.

Sewaktu kabar bahwa Rahula telah dicukur bersih kepalanya dan menjadi calon Bikkhu(samanera) sampai pula ke istana, Baginda Raja menjadi sangat sedih karenanya. Baginda raja maupun ibu ratu sangat merindukan Rahula. Mereka berpikir sebelumnya bawha rahula pergi mengunjungi wihara hanya untuk beberapa hari saja setelah itu akan kembali ke istana. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa Rahula akan menetap di wihara. Mereka merasa sangat kesepian tanpa cucu mereka. Yasodhara merasakan kesedihan dan kebahagiaan bercampur aduk. Walau dia sangat-sangat merindukan putranya, namun ia juga merasa terhibur karena mengetahui bahwa sekarang Rahula berada di dekat ayahnya setelah sekian tahun tidak melihatNya.

Akhirnya pada suatu siang Baginda Raja bersama Ratu Gotami dan Yasodhara naik kereta kencana pergi mengunjungi wihara. Mereka ditemui oleh Buddha. Nanda(Sepupu Sang Buddha) dan Rahula keluar untuk menyalami mereka juga. Dalam kegembiraan kanak2nya, Rahula kemudian berlari ke ibunya dan dengan hangat Yasodhara memeluk putranya. Setelah itu, Rahula memeluk kakek neneknya.

Baginda raja membungkuk hormat kepada Buddha lalu berkata dengan nada agak menyalahkan, "Tak terkirakan penderitaanku sewaktu engkau meninggalkan rumah untuk menjadi seorang bikkhu. Kemudian belum lama ini, Nanda juga meninggalkanku dan terlalu berat untuk dapat menanggung kehilangan Rahula. Bagi seorang perumah tangga seperti diriku ini, ikatan antara ayah, anak, dan cucu sedemikian pentingnya. Rasa sakit yang kualami di kala engkau pergi bak sebilah pisau mengiris kulitku. Setelah mengiris kulitku, pisau itu mengiris dagingku. Setelah mengiris dagingku, pisau itu tembus hingga ke tulang. Aku mohon kepadamu, pertimbangkanlah segala tindakanmu. Di kemudian hari, janganlah engkau mengijinkan seorang bocah ditahbiskan kecuali jika ia telah mendapatkan ijin dari orang tuanya."

Sang Buddha mendengarkan itu dengan sabar kemudian menenangkan baginda raja dengan membabarkan kebenaran ketidakkekalan dan tanpa adanya diri yang terpisah. Beliau juga mengingatkannya bahwa latihan kesadaran harian merupakan satu-satunya gerbang untuk mengatasi penderitaan. Nanda dan Rahula sekarang memperoleh kesempatan untuk menjalani kehidupan semacam itu secara mendalam. Buddha kemudian membesarkan hati ayahandaNya untuk mengapresiasi keberuntungan mereka dan terus melanjutkan mengikuti jalan menuju kewaspadaan dalam kehidupan sehari-hari untuk menemukan kebahagiaan sejati. Sang Buddha juga menyetujui permohonan Raja Suddhodana maka mulai saat itu lah tidak mentabhiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuannya.

Setelah ditabhiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sebagai anak, Rahula yang melihat ayahnya ada didekatnya namun tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan dengan Sang Buddha merupakan suatu kesedihan tersendiri baginya terutama saat ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai ayah-ayah orang lainnya. Hal ini mendorongnya untuk mencari perhatian dan melakukan kenakalan-kenakalan kecil yang badung. Ia suka bercanda dan mengolok-olok orang lain sampai mereka bingung, sementara ia bertepuk tangan dan tertawa keras kegirangan. Contoh lainnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya dimana dapat bertemu dengan Sang Buddha.

Hal ini telah diketahui dan didengar oleh Sang Buddha. Hingga suatu saat yang Ia anggap tepat, dikenakalan berikutnya, Beliau sendiri pergi mencari Rahula. Ketika Rahula melihat Ayahnya, Ia merasa bahagia namun segera menyadari hal tidak benar yang telah ia lakukan. Ia segera membawa sebaskom air untuk mencuci kaki Buddha.

Setelah itu, Buddha berkata kepada Rahula, "Rahula, dapatkah air di baskom ini digunakan untuk minum?"

Rahula menjawab, "Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum".

"Rahula, sekarang kamu seperti air ini." Buddha menatap Rahula, lalu melanjutkan, "air ini awalnya bersih, tetapi menjadi kotor setelah dipakai untuk mencuci kaki. Demikian pula, kamu. Sebagai seorang anggota kerajaan yang akan mewarisi kerajaan, engkau melepaskan tahta dan menjadi bhikkhu untuk memperaktikkan Dhamma. Tekad dan cita-citamu adalah sungguh hebat! akan tetapi, di sini kamu masih suka bermain2 setiap hari. Engkau tidak mau menjadi rajin. Semua orang menjadi tidak suka melihatmu, seperti melihat engkau melihat air baskom yang kotor setelah digunakan untuk mencuci kaki!"

Sang Buddha kemudian menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali lagi dengan baskom yang sudah kosong lalu Sang Buddha berkata, " Rahula, dapakah kamu menaruh masakan kedalam baskom ini?"

Rahula menjawah, "Tidak, saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor".

Mendengar jawaban Rahula Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh sipembuat kebohongan."

Dengan kata-kata yang disampaikan oleh sang Buddha sangat mengena pada Rahula maka sejak itu ia menjadi amat rajin dan mematuhi semua peraturan Sangha. Ia menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan penuh simpati, meski terlahir dan dididik sebagai Pangeran, ia dapat melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dan dapat menjalani kehidupan suci dengan begitu baiknya.

Namun ada pula anggota Sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah, dan beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Ia menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu dan mengganggapnya sebagai ujian baginya.

Suatu hari, Rahula pergi mendengarkan ceramah yang diberikan oleh Buddha. Ketika ia kembali, ia mendapati bahwa kamarnya telah dipakai oleh bhikkhu lain. Peraturan di dalam Sangha menyatakan bahwa samanera muda harus menghormati bhikkhu yang lebih tua dan mengalah padanya. Rahula lalu beristirahat di bawah pohon namun tidak lama kemudian, turunlah hujan yang sangat lebat.

Rahula tidak punya pilihan lain kecuali lari ke kakus untuk berteduh dalam keadaan basah sambil menahan kedinginan yang sangat menusuk tulang. Sang Buddha yang memiliki kekuatan gaib. mengetahu tentang tekad dan keadaan Rahula pada waktu itu, sehingga Buddha pergi menemui Rahula pada waktu itu di tengah hujan lebat. Rahula yang tidak punya siapa pun untuk bercerita, saat melihat Buddha datang ke arahnya, ia segera memeluk buddha dan menangis dengan sedihnya. Sang Buddha menenangkan Rahula dan berkata, "Rahula, kamu mau mendahulukan orang lain. Latihan Dhamma kamu sudah lebih maju".

Pada suatu ketika, ketika Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, Mereka bertemu seorang pembuat onar yang dengan sengaja menuangkan pasir ke mangkuk Sariputta dan memukul kepala Rahula dengan sebuah tongkat.

Darah mengucur deras dari kepala Rahula yang terluka. Sariputta segera mengingatkan Rahula, "Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan membuka kesombongannya dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan".

Setelah mendengarkan Sariputta, Rahula menjadi tenang dan kemudian ia tersenyum. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia pergi sendiri ke tepi sungai dan mencuci darah di kepala dan wajahnya. Kemudian ia menggunakan sapu tangannya untuk membalut luka dan melanjutkan mengumpulkan dana dari umat, seolah-olah ia tidak terluka sama sekali.

Rahula tidak pernah membenci nasehat yang diberikan kepadanya. Setiap bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad. "Semoga hari ini saya mendapat nasehat sebanyak pasir ini".

Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, yaitu dengan tidak terbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua belas tahun.

Pada usia dua puluh tahun, Rahula ditabhiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) Saripputta dan guru penasbisan resmi Moggallana. Selama kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang, membawanya ke hutan Ananda, dan mengajarkan ajaran yang dikenal sebagai Nasihat kecil untuk Rahula (Cullarahulavada Sutta, Majjhima Nikaya).

Rahula merasakan kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebaskan dari kekotoranbatin (asava) kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu arahat.

Sang Buddha berkata kepada Rahula dengan gembira, "Rahula, di antara para siswa-Ku, kamulah yang paling unggul dalam berlatih dengan tenang".

Ini berarti Rahula mempraktikkan Dhamma sendiri, tanpa membiarkan orang tahu tentang itu. Dialah siswa yang paling randah hati dan paling sabar.

Pada suatu kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur Rahula. Oleh karena tidak menemukan tempat lain untuk istirahat maka Rahula tidur diruang terbuka di depan tempat Sang Buddha.

Setelah mencapai Pencerahan, Rahula tetap mengikuti Buddha dan Sariputta, berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan Dhamma. Ia tidak suka memuji diri sendiri atau memamerkan diri. Ia serius dan bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Seperti ayahnya, Sang Buddha, Rahula juga dikenang dan sangat dihormati oleh generasi berikutnya.

Rahula disukai oleh banyak orang bukan karena ia adalah putera Buddha, tetapi karena cinta kasih, belas kasih, latihan kesabaran, dan ketenangannya. Semua ini mengundang pujian tulus dari yang dalam dari hati setiap orang. Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia lima puluh tahunan. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.

Jumat, 01 April 2011

Kisah Yang Ariya Upali ( Terkemuka dalam Menjaga Sila )

Enam bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta, dan Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi oleh rombongan besar kereta, gajah dan sejumlah pelayan untuk melayani mereka dalam perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka mengirim seluruh kereta kembali ke Kapilavatthu, dan yang tinggal bersama mereka hanyalah Upali, tukang cukur mereka.

Di tepi hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. kemudian mereka melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan barang-barang berharga itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang Buddha, "Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai".

Upali tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka menjumpai Sang Buddha di anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat ditabhiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.

Dengan sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.

Tetapi Sang Buddha menjawab, "Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?

Yang Arya Upali kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sangha, mengabdikan dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai penuntun bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sedikit apapun, beliau segera menanyakan kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh semua sila - mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri melakukan tindakan asusila, berdusta, minum-minuman keras yang memabukkan - sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadaNya untuk meminta nasehat.

Meskipun demikian tidak berarti Yang Arya Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan. Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, Yang Arya Upali menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum minuman yang diragi. Yang Arya Upali segera memberikan anggur kepada bhikkhu itu, yang dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.

Yang Arya Upali melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha. beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan dibawah pimpinan Yang Arya Maha Kassapa. Ketika pertemuan pertemuan dibuka, Yang Arya Maha Kassapa berkata "Para Bhante yang terhormat harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya."

Yang Arya Upali menjawab, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya ang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa."

Kemudian Yang Arya Maha Kassapa bertanya, "Bhikkhu Upali dimana ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?"

"Di Vesali, Bhante."

"Mengenai Siapa?"

"Mengenai Bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka".

Demikianlah ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni. Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh Yang Arya Upali dengan terang dan jelas sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar dan dilestarikan.

Kamis, 31 Maret 2011

Kisah Yang Ariya Anuruddha ( unggul dalam mata dewa )

Sesaat sebelum mencapai Parinibbana, Sang Buddha menyampaikan kata-kata terakhir Beliau, "O Bhikkhu dengarkanlah baik-baik nasihatku: Segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh". Setelah itu Sang Buddha memasuki Jhana kesatu, lalu Jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian memasuki 'Kesadaran Terbatas', keadaan 'Kosong', keadaan 'Bukan Pencerapan pun Bukan Pencerapan' kemudian mencapai 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'.

Pada saat itulah YA Ananda berkata kepada Anruddha, "Bhante, Sang Bhagava telah Parinibbana!" Tetapi YA Anuruddha menjawab, "Belum Avuso Ananda. Sang Bhagava belum Parinibbana. Beliau sekarang berada dalam keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'".

Kemudian Sang Buddha bangun dari keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' lalu memasuki keadaan yang telah dijalaninya dengan urutan sebaliknya sampai kembali ke Jhana ke satu. Dari Jhana kesatu, Beliau kembali memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Keluar dari Jhana keempat Sang Buddha segera mengakhiri hidupnya dan mencapai Parinibbana.

Ketika Sang Buddha mencapai Parinibbana, YA Anuruddha mengucapkan syair berikut,

"Dengan tiada pergerakan napas,
tetapi dengan keteguhan hati,
Bebas dari keinginan dan tenang,
Demikianlah Sang Petapa mengakhiri hidupnya,
Tak gentar menghadapi saat mautnya,
Batinnya memperoleh kebebasan,
Bagaikan api lampu yang padam".

YA Anuruddha terlahir sebagai saudara sepupu Sang Buddha, putera dari Amitodana. Mempunyai saudara kandung bernama Mahanama dan merupakan saudara satu ayah lain ibu dari Ananda. Wajahnya tampan, alisnya lurus dan bentuk hidupnya bagus, ahli dalam seni bela diri dan olahraga. Orangtuanya amat menyayanginya dan memberinya rumah untuk tiap musim, satu untuk musim panas, satu untui musim dingin dan satu untuk musim hujan, sebagaimana yang diperoleh Pangeran Siddhattha dari orangtuanya. Di dalam tiap rumah yang dibangun untuk Anuruddha, terdapat banyak pelayan yang selalu siap melayaninya. Kedatangan Sang Buddha ke kapilavatthu membuat banyak orang tertarik akan Ajaran Sang Buddha dan banyak diantara mereka yang meninggalkan hidup keduniawian dan menjadi bhikkhu. Dalam keluarga Anuruddha belum ada yang menjadi bhikkhu. Oleh karena itu Mahanama mengusulkan agar salah satu dari mereka untuk menjadi bhikkhu, karena apabila keduanya menjadi bhikkhu maka tidak ada lagi yang memelihara garis keturunan keluarga.

Anuruddha yang terbiasa hidup dalam kemewahan merasa sulit untuk hidup sebagai bhikkhu, namun Mahanama membujuknya dengan menunjukkan kesukaran kehidupan sebagai perumah tangga, dan pekerjaan dalam pertanian yang tiada habisnya. Anuruddha meminta ijin dari ibunya untuk menjadi bhikkhu. Ibunya yang amat menyayanginya mula-mula menolak membei ijin, akhirnya memberi ijin dengan syarat sepupunya Bhaddiya, Raja Sakya yang menggantikan Raja Suddhodana yang telah mangkuat, juga mengikutinya menjadi bhikkhu. Ibunya berpikir bahwa tidak mungkin Bhaddiya akan meninggalkan tugasnya sebagai raja untuk menjadi bhikkhu.

Bhaddiya berkata bahwa ia mau menemani Anuruddha menjadi bhikkhu asalkan Anuruddha mau menunggu tujuh tahun lagi. Atas desakan Anuruddha, masa menunggu itu dipersingkat menjadi enam tahun, lima tahun emoat tahun, sampai satu tahun. Akhirnya Bhaddiya berjanji untuk melaksanakan hal itu tujuh hari lagi setelah ia menyerahkan tugasnya kepada anak dan saudaranya..

Anuruddha kemudian mengajak pula Ananda, Bhagu, Kimbila, dan Devadatta untuk menjadi bhikkhu. agar tidak dicurigai, mereka pergi ketaman seolah-olah akan berolahraga dengan membawa pulang tukang cuku mereka yang bernama Upali. Di tengah perjalanan mereka menuruh para pengiring pulang, dan kemudian melepaskan baju dan perhiasan yang dipakai untuk dibawa pulang oleh Upali. Tetapi Upali yang merasa takut akan kemarahan orang Sakya bila membawa pulang barang-barang itu, akhirnya mengikuti mereka untuk menjadi bhikkhu. Mereka bertemu Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi rasa kesombongan mereka dengan demikian selanjutnya mereka harus menghormati Upali sebagai bhikkhu yang lebih senior.

Bhaddiya kemudian mencapai tiga pengetahuan dan menjadi Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Devadatta memperoleh kesaktian yang dapat dicapai oleh manusia biasa, Bhagu, Kimbila dan Upali pun kemudian mencapai tingkat Arahat.

Anuruddha yang terbiasa hidup nyaman dan dilayani oleh banyak pelayan kini harus mengenakan jubah kasa, berkeliling menerima dana makanan, tidur di alam terbuka dan menjadi aturan yang keras. Dengan tekadnya yang kuat, ia dapat terbiasa dengan kehidupan sebgai bhikkhu namun merasa amat lelah dalam melaksanakan latihan-latihan itu.

Pada suatu kali ketika Anuruddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya sedang berkumpul di vihara Jetavana mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia merasa sangat mengantuk dan tertidur. Ia terbangun ketika Sang Buddha menuyebut namanya dan menyapanya dengan beberapa perkataan. Setelah khotbah selesai, dengan rasa malu Anuruddha menyampaikan rasa penyesalannya kepada Sang Buddha dan bertekad untuk tidak lagi tertidur pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha., Sejak saat itu Anuruddha tidak pernah memejamkan mata walaupun dimalam hari.

Dengan latihannya Anuruddha memperoleh mata dewa, yaitu kemampuan untuk melihat timbul lenyapnya makhluk-makhluk di alam semesta ini. Kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat. namun latihan yang keras demikian menyebabkan gangguan pada matanya sehingga tidak dapat melihat. Ketika diminta oleh Sang Buddha agar beliau tidur untuk memulihkan penglihatan matanya sesuai dengan anjuran dokter, beliau menjawab, "Bhante, dengan bertekad untuk tidak tidur saya dapat mengatasi semua penderitaan. Bagaimana saya dapat melepaskan tekad itu?".

YA Anuruddha hadir pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana dan berperan pula dalam Sidang Agung Sangha yang diadakan setelah Sang Buddha Parinibbana.Beliau dengan para bhikkhu lainnya mendesak YA Ananda untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mencapai tingkat Arahat pada Sidang Agung tersebut. YA Anuruddha mencapai Parinibbana (wafat) di desa Veluva dari Vajjian di bawah kerimbunan pohon bambu.

Rabu, 30 Maret 2011

Yang Ariya Maha Kassapa ( Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras )

Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana, maka badan jasmani beliau disiapkan untuk diperabukan. Epat orang dari suku Malla, setelah membersihkan dirinya dan mengenakan baju baru akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha. Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api jangan dinyalakan terlebih dahulu sebelum YA Maha Kassapa yang sedang dalam perjalanan menuju tempat itu memberi hormat di kaki Sang Buddha.

Saat itu YA Maha Kassapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan dari Pava ke Kusinara bertemu dengan petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinara. Dari petapa itu YA Maha Kassapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa sangat sedih, meratap dan menangis. Di antara mereka terdapat seorang bhikkhu tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia berkata, ?Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha ?Ini boleh, ini tidak boleh?. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita sukai?. Kata-kata itu membuat YA Maha Kassapa berpikir bahwa beliau harus mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran Sang Buddha.

Setelah sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan YA Maha Kassapa beserta rombongannya selesai memberi penghormatan, dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.

YA Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, ?Selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian?. Karena orangtuannya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan menikah apabilka ditemukan seorang gadis cantik dalam lukisannya itu. Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka bertemu dengan Bhadda Kapilani yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah dan hidup bersama sampai orangtua Pipphali meninggal dunia.

Pada suatu hari setelah kematian orang tuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah dipersimpangan jalan, Pipphila menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke arah kanan.

Dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta mohon diterima sebagai murid Sang Buddha. Sang Buddha mentabhiskannya dengan memberikan nasihat.

?O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada Bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.

Pada perjalanan kembali ke Rajagaha, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Dhutanga. Delapan hari kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Ia tinggal di sana selama enam tahun. Kemudian setelah Maha Pajapati Gotami diijinkan untuk menerima penahbiskan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni. Tak lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lampau.

Ya Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang bediam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal sangat rajin. Menjawab pertanyaan mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Beliau merupakan contoh yang sangat baik bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Dalam suatu pertemuan para bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha mengatakan bahwa YA Maha Kassapa adalah siswa yang terkemuka di antara mereka yang melakukan latihan yang keras.

Setelah upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, YA Maha Kassapa menceritakan ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh para bhikkhu lainnya. Tiga bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama di gua Sattapanni di Rajagaha dengan bantuan dan perlindungan dari Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh lima ratus Arahat. Sidang itu dipimpin oleh YA Maha Kassapa. Sidang itu mengulang semua peraturan vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang berlainan dan pada waktu berlainan selama empat puluh lima tahun. Sidang berakhir setelah tujuh bulan bekerja keras.

Bagi para bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, YA Maha Kassapa dianggap sebagai bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak mengherankan karena beliau merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam melaksanakan latihan yang keras. Selain itu beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tubuh tanda dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbana pada usia seratus dua puluh tahun.