Minggu, 29 Mei 2011

Kisah Culla Subhada

Meskipun dari jauh, orang baik akan terlihat bersinar; Bagaikan puncak pegunungan Himalaya. Tetapi meskipun dekat, orang jahat tidak akan terlihat; Bagaikan anak panah yang dilepaskan pada malam hari.

Berawal dari Anathapindika masih remaja. Ia mempunyai sahabat akrab dari anak seorang bendahara bernama Ugga, yang tinggal di kota Ugga. Mereka belajar bersama ilmu sastra di rumah seorang guru. Ketika mereka belajar bersama, mereka membuat perjanjian, "Bila kita sudah dewasa, lalu menikah dan mempunyai anak, yang perempuan akan dijadikan isteri dari anak laki-laki." Ketika kedua remaja ini menjadi dewasa, mereka menjadi bendahara, yang tinggal di kota masing-masing.

Waktu berlalu, Anathapindika telah berkeluarga dan mempunyai anak perempuan yang bernama Culla Subhadda. Pada suatu kesempatan Bendahara Ugga berkunjung ke Savatthi dengan membawa kereta untuk berdagang. Ketika itu Anathapindika berkata kepada anak perempuannya Culla Subhadda, "Anakku sayang, ayahmu Bendahara Ugga akan datang mengunjungi kita; kamu harus melayaninya dengan baik." "Baiklah ayah", jawab Culla Subhadda, ia berjanji untuk mematuhi perintah ayahnya.

Sejak Bendahara Ugga tiba, Culla Subhadda menyiapkan sendiri piring-piring, masakan dan makanan lainnya, menghiasi rumah dengan bunga-bunga, menyediakan minyak wangi, obat gosok dan lain-lain untuk menyenangkan tamunya. Ketika waktu makan tiba, ia segera menyiapkan air untuk tamunya mandi dan sesudah itu ia melayani segala macam kebutuhan tamunya itu.

Ketika Bendahara Ugga memperhatikan tingkah laku Culla Subhadda yang menyenangkan itu, hatinya bahagia. Suatu hari ia berbincang-bincang dengan Anathapindika, ia mengingatkan kembali perjanjian di antara mereka, ketika mereka masih remaja, ia lalu memutuskan untuk memilih Culla Subhadda untuk menjadi menantunya.

Sekarang ini, Bendahara Ugga berguru kepada pertapa telanjang yang mempunyai pandangan yang salah, dan Anathapindika lalu bertanya kepada Sang Budhha tentang masalah ini. Sang Guru melihat bahwa Bendahara Ugga mempunyai kemampuan untuk mempelajari Dhamma, mengijinkan Culla Subhadda untuk menjadi menantu Bendahara Ugga. Sesudah Bendahara Anathapindika membicarakan masalah ini kepada isterinya, ia lalu menerima lamaran Bendahara Ugga dan mempersiapkan upacara pernikahan puterinya.

Bendahara Anathapindika memberikan beberapa hadiah kepada putrinya. Ia memberikan Sepuluh Peringatan, kemudian berkata, "Putriku sayang, kalau kamu tinggal di rumah mertuamu, api di dalam rumah jangan dibawa keluar dan sebagainya." Ia juga menyediakan delapan orang pengikut sebagai penasihat, ia berpesan kepada mereka, "Kalau ada kesalahan berada di pihak puteriku, kalian harus memberitahukan kesalahannya."

Ketika ia hendak melepaskan puterinya, ia berdana yang luar biasa besarnya kepada Bhikkhu Sangha, yang dipimpin oleh Sang Buddha, dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa puterinya telah melakukan perbuatan baik sehingga puterinya memperoleh kebahagian, ia lalu melepas puterinya pergi dengan penuh rasa bahagia.

Ketika Culla Subhada tiba di kota Ugga, seluruh anggota keluarga mertuanya dan keluarga besar lainnya datang menyambut dengan penuh kehangatan. Ia memasuki kota dengan berdiri di atas kereta kencana, berpawai ke sekeliling kota, yang memperhatikan kebesaran dan kebahagiaannya. Ia menerima banyak hadiah dari penduduk, sehingga menimbulkan hubungan dan pengertian yang baik dengan penduduk di sekitarnya. Seluruh kota membicarakan dengan penuh hormat kecantikan dan keluhuran budinya.

Sekarang ini, ayah mertuanya sedang menjamu para pertapa telanjang pada suatu festival, dan pada saat itu ia mengirimkan pesan kepada menantunya, "Panggillah ia masuk, untuk memberikan hormat kepada pertapa-pertapa kita."

Tetapi dengan penuh kerendahan hati Culla Subhadda menolak untuk bertemu dan masuk menemui mereka. Berkali-kali mertuanya memberikan pesan supaya menantunya datang dan berkali-kali pula ia manolak untuk masuk. Akhirnya ayah mertuanya marah dan memerintahkan, "Usir dia keluar dari rumah ini!"

Tetapi ia menolak, "Tidak seorangpun dapat menghukum tanpa suatu alasan." Dengan segera Culla Subhadda mengumpulkan para penasihat yang mengiringinya dan menerangkan permasalahan di hadapan mereka.

Ayah mertua berbincang-bincang dengan isterinya tentang masalah ini dan berkata, "Perempuan ini menolak untuk memberikan hormat kepada para pertapa kita, alasannya karena mereka 'tidak sopan'." Ibu mertuanya berkata, "Bagamanakah tingkah laku para bhikkhunya, sehingga ia puja sedemikian tinggi ?"

Ia lalu memanggil Culla Subhadda dan berkata, "Bagaimanakah tingkah laku para bhikkhumu, yang kamu puja sedemikian tinggi? Apa yang mereka pahami dan bagaimana mereka mempraktekannya? Jawablah pertanyaan saya."

Dalam menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Culla Subhadda menjelaskan tentang kemuliaan dan keluhuran dari Sang Buddha dan Ajaran-Nya sebagai berikut :

"Tenang ucapan mereka,
tenang pikiran mereka,
tenang langkah mereka berjalan,
tenang pendirian mereka
Mereka melihat ke bawah;
sedikit yang mereka ucapkan.
Itulah para bhikkhu saya.

Perbuatan mereka bersih,
Ucapan mereka bersih,
Pikiran mereka bersih,
Itulah para bhikkhu saya.

Tidak bernoda seperti mutiara,
Murni di dalam dan di luar
Penuh dengan sifat-sifat baik,
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira dengan keuntungan dan
bersedih karena kerugian.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; keuntungan dan kerugian.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena terkenal dan
bersedih karena tidak terkenal.
Tetapi mereka tidak terpengaruh dari
keduanya; terkenal atau tidak terkenal.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena pujian dan
bersedih karena celaan.
Tetapi mereka tidak bereaksi
terhadap keduanya; pujian dan celaan.
Itulah para bhikkhu saya.

Dunia gembira karena kesenangan dan
bersedih karena penderitaan.
Tetapi mereka tidak berubah
terhadap kesenangan dan penderitaan.
Itulah para bhikkhu saya".

Dengan kata-kata yang diucapkannya itu, dan pada saat itu juga Culla Subhadda memuaskan ibu mertuanya. Sehingga ibu mertuanya bertanya kepadanya,
"Mungkinkah bagi kami untuk bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu kamu?"
"Tentu saja mungkin," jawab Culla Subhadda.
"Kalau begitu, aturlah supaya kami dapat bertemu dengan mereka," tanya ibu mertuanya.
"Baiklah," jawab Culla Subhadda.


Kemudian Culla Subhadda menyiapkan persembahan-persembahan kepada Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha.

Ia lalu berdiri di lantai paling atas di istana dan menghadap Vihara Jetavana, sambil menghormat, ia merenungkan kebajikan-kebajikan Sang Buddha. Ia menghormati Sang Buddha dengan mempersembahkan dupa, wewangian dan bunga-bunga, lalu ia melemparkannya ke udara delapan genggam bunga melati, sambil berkata dengan penuh hormat,
"Yang Mulia saya mengundang Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha besok pagi, semoga Sang Guru mengetahui permohonan undangan saya melalui bunga-bunga ini."

Bunga-bunga ini lalu melayang di udara dan membentuk payung bunga yang indah diatas Sang Buddha ketika Beliau sedang membabarkan Dhamma di tengah para bhikkhu.

Pada waktu itu Anathapindika, yang sedang mendengarkan Dhamma, mengundang Sang Buddha untuk menjadi tamunya besok pagi. Sang Buddha lalu menjawab,
"Saudara, saya sudah menerima undangan untuk besok pagi."
"Tetapi Yang Mulia," jawab Anathapindika, "Tidak ada seorangpun yang datang ke sini sebelum saya, undangan siapakah Yang Mulia terima?"

Sang Guru berkata :
"Culla subhadda mengundangku, saudara."
"Tetapi, Yang Mulia, bukankah Culla Subhadda tinggal jauh dari sini, kira-kira seratus dua puluh leagues (1 league = 4,8km) dari sini ?"
"Ya," jawab Sang Buddha. "Tetapi perbuatan baik, meskipun jauh dapat menampakkan dirinya seperti saling berhadapan." Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair :

"Meskipun dari jauh,
orang baik akan terlihat bersinar
bagaikan puncak
pegunungan Himalaya.
Tetapi meskipun dekat,
orang jahat tidak akan terlihat,
Bagaikan anak panah yang dilepaskan
pada malam hari."


Dewa Sakka, raja para dewa menyadari bahwa Sang Guru telah menerima undangan Culla Subhadda, memberikan perintah kepada Dewa Vissakamma:
"Ciptakanlah lima ratus pagoda dan pada esok hari antarkanlah Bhikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sang Buddha menuju Kota Ugga."

Keesokan paginya, Dewa Vissakamma menciptakan lima ratus pagoda dan menunggu di depan pintu Vihara Jetavana. Sang Buddha memilih lima ratus Arahat, dan rombongan ini bersama-sama lalu duduk di pagoda, dan melalui udara menuju Kota Ugga.

Bendahara Ugga beserta rombongan, dengan dikepalai oleh Culla Subhadda berdiri menunggu di jalan, di mana Sang Buddha akan tiba. Ketika ia melihat Sang Buddha mendekati dengan semua kemegahan dan keagungan-Nya, hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang luar biasa.

Ia menyampaikan penghormatan yang tertinggi dengan karangan bunga dan persembahan lainnya, mengundang Sang Guru untuk memasuki rumahnya, dan menyampaikan hormatnya. Ia mempersembahkan berbagai macam dana, mengundang Sang Buddha berkali-kali untuk bersedia menjadi tamunya. Selama tujuh hari ia mempersembahkan dana yang luar biasa besar.

Sang Buddha lalu mengingatkannya untuk selalu berbuat kebaikan dan membabarkan Dhamma kepada ayah mertuanya.

Dimulai dengan Bendahara Ugga, delapan puluh empat ribu makhluk hidup, mencapai pengertian terhadap Dhamma Yang Mulia.

Sebagai hadiah atas kemurahan hati Culla Subhadda, Sang Buddha lalu meminta Yang Mulia Anuruddha untuk tetap tinggal, dengan berkata, "Kamu tetap tinggal di sini."

Sang Buddha lalu kembali ke Savatthi. Sejak saat itu kota Ugga menjadi kota yang penduduknya mengerti akan Dhamma Yang Mulia, kota yang sejuk dan damai.

Minggu, 22 Mei 2011

Kisah Yang Ariya Ambapali Theri

Demikianlah tubuh ini. Sekarang berkeriput, tempat berbagai rasa sakit bersemayam, rumah tua dengan plesteran dinding yang mengelupas. Ucapan Pembabar Kebenaran tidaklah salah.

Pada suatu pagi, seorang tukang kebun dari Kerajaan Licchavi di Vaseli, menemukan seorang bayi perempuan terbaring di bawah pohon mangga dan memberikannya nama Ambapali, yang berasal dari kata amba (mangga) dan pali (garis atau batang).

Kemudian Ambapali tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang cantik dan anggun.

Banyak pangeran dari Licchavi ingin menikahinya. Mereka saling bertengkar ingin menjadikan Ambapali sebagai isteri. Untuk menyelesaikan pertengkaran tersebut, mereka berdiskusi dan sepakat memutuskan,
"Biarlah Ambapali menjadi milik semua orang."

Dengan demikian, Ambapali menjadi wanita penghibur. Dengan sifatnya yang baik, dia melatih ketenangan dan kemuliaan. Ambapali sering memberikan dana dalam jumlah besar dalam setiap kegiatan amal. Walaupun Ambapali seorang wanita penghibur, namun dia terlihat seperti ratu yang tak bermahkota di Kerajaan Licchavi itu.

Ketenaran Ambapali menyebar dan terdengar oleh raja Bimbisara dari Magadha. Kemudian Raja Bimbisara menemuinya, Beliau sangat terpesona akan kecantikannya. Terjalinlah hubungan diantara Raja Bimbisara dengan Ambapali, dari hubungan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki.

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesali dan tinggal vihara di hutan mangga. Ambapali datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan khotbah kepada Ambapali. Keesokan harinya Ambapali mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumahnya.
"Yang mulia, saya mengundang Yang Mulia bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan, besok pagi di rumah saya," mohon Ambapali. Sang Buddha menerima undangan itu.

Setelah itu Ambapali dengan tergesa-gesa meninggalkan Pangeran Licchavi yang saat itu berada di dalam kereta, pangeran itu berusaha menemukan alasannya dan bertanya,
"Ambapali, ada apa gerangan sehingga kau berkeliling menemaniku dengan tergesa-gesa?"

"Pangeran, saya baru saja mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk datang ke rumah besok pagi, untuk menerima dana makanan dan saya ingin meyakinkan bahwa semua telah dipersiapkan dengan baik", jawab Ambapali.

Mengetahui hal tersebut para bangsawan Licchavi memohon kepada Ambapali untuk memberikan hak istimewa tersebut kepada mereka, dengan menawarkan kepadanya seratus ribu logam emas, tapi Ambapali menolak tawaran tersebut. Kemudian para bangsawan Licchavi itu datang menemui Sang Buddha, dan berkata,
"Izinkanlah kami besok mengundang Yang Mulia dan para bhikkhu untuk menerima dana makanan besok pagi." Undangan makan dari para bangsawan Licchavi tersebut terjadi di hari yang sama dengan undangan makan Ambapali. Sang Buddha tidak menerima undangan tersebut, dan berkata, "Saya telah menerima undangan Ambapali lebih dahulu."

Keesokan paginya Sang Buddha dan para bhikkhu datang ke rumah Ambapali untuk menerima dana makanan. Setelah selesai menerima dana makanan tersebut, Ambapali mempersembahkan hutan mangga tersebut kepada Sang Buddha.

Pada suatu hari, anak Ambapali dari Raja Bimbisara, bernama Vimala-Kondañña, yang telah menjadi seorang bhikkhu dan telah mencapai Tingkat Kesucian Arahat, memberikan khotbah Dhamma. Setelah mendengar khotbah dari anaknya tersebut, Ambapali meninggalkan kehidupan duniawi, menjadi anggota Sangha Bhikkhuni. Beliau menggunakan tubuhnya sebagai obyek meditasi, merefleksikan sifat-sifat ketidakkekalan, dengan melatih meditasi dengan giat, Beliau akhirnya mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Dalam versi Therighata, dikatakannya pada saat Beliau tua, Beliau membandingkan kecantikannya yang ia miliki dahulu dengan keadaan sekarang :

Rambutku hitam,
bagai warna kumbang,
diujungnya berikal
Karena usia tua,
sekarang bagai serat kulit kayu rami
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Ditutupi bunga,
rambutku wangi bagai kotak parfum
Sekarang karena usia tua,
baunya bagai bulu anjing
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya alisku nampak
demikian indah,
bagai lukisan bulan sabit
yang dilukis sangat indah,
karena usia tua,
tergantung ke bawah oleh kerutan.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Mataku berbinar,
sangat bercahaya bagai permata,
Berwarna biru gelap dan
berbentuk panjang,
Dipengaruhi oleh usia tua,
tidak lagi kelihatan cantik
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya gigiku nampak indah,
bagai warna kuncup
tanaman yang masih muda.
Karena usia tua,
hancur dan menghitam.
Ucapan Pembabar Kebenaran
t idaklah salah.
Sebelumnya, kedua dadaku
nampak indah, menggembung
bundar, berdekatan, menjulang,
Sekarang keduanya turun
bagai kantung air kosong
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya tubuhku nampak indah,
bagai lembaran emas yang digosok.
Sekarang penuh oleh
kerutan-kerutan halus
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Sebelumnya kedua kakiku
nampak indah,
bagai (sepatu) yang penuh kapas.
Karena usia tua,
menjadi retak-retak dan berkeriput.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.

Demikianlah tubuh ini.
Sekarang berkeriput,
tempat berbagai rasa sakit
bersemayam,
rumah tua dengan plesteran dinding
yang mengelupas.
Ucapan Pembabar Kebenaran
tidaklah salah.